"Kamu pembunuh!!!!!"
"Aku benci kamuuuu!"
"Papaa jangan bawa dia pergi Papaaa! Hiks.. hikss..."
"Dia bukan anak Papa!!!"
"Dia gila, dia mau bunuh anakku..."
"HAHAHAH.. look at this girl. She like an idiot"
"She is stranger, don't came to her"
"AAAAAARGH!"
Gadis itu secara refleks membuka matanya. Dia terduduk di atas ranjang. Tubuhnya bersimbah peluh, keringat yang terus menetes jatuh dari pelipis ke pipi, dan turun ke leher, menghilang di balik baju tidurnya, sedangkan dadanya bergerak naik turun dengan cepat seolah dia kesulitan untuk sekedar menarik nafas. Ada erangan-erangan lirih keluar dari mulutnya, dengan dahi yang mengernyit, menyisakan raut muka kesakitan dan ketakutan.
Mimpi itu datang lagi. Membayanginya. Menghantuinya setiap malam. Gadis itu menarik napas pelan, mencoba mengambil kendali dirinya. Ia memejamkan mata, mencoba menghapus kilasan-kilasan mimpi buruknya. Jangan. Tidak lagi. Mimpi-mimpi itu tidak boleh lagi menjatuhkannya.
Gadis itu membuka mata, pandangannya menyapu sebuah pigura foto di meja belajarnya. Foto berisi lima sosok yang sedang tersenyum manis ke arah kamera. Dua sosok dalam foto itu, mimpi buruknya.
***
Seumur hidupnya, ia tak pernah menginginkan apa-apa. Tidak, jika yang dikategorikan 'apa-apa' adalah benda, barang atau materi pemenuh kebutuhan manusia. Karena jika yang dimaksud 'apa-apa' adalah hal tadi, ia sudah memiliki segalanya tentu saja.
Tapi, jika 'apa-apa' yang dimaksud adalah kebebasan, tentu saja ia tak punya. Ia tak punya kebebasan. Kebebasan melakukan apa yang ia suka. Kebebasan untuk memilih sendiri apa yang ia mau.
Alvin kecil ingin sekali mahir mencipta nada melalui not not hitam putih. Tapi, Papa bilang tugas Alvin adalah belajar. Bukan bermain piano. Alvin kecil menangis, memaksa Mama untuk menemaninya belajar piano. Tanpa peduli wajah kesal papa.
Lalu hari itu datang. Ketika Alvin mendengar Papa bicara dengan Opa tentang dirinya. Sejak saat itu, Alvin tak ingin apa-apa lagi. Alvin tak ingin menangis di depan Papa lagi. Berjanji, tak ingin melihat pendar kecewa di mata Papa lagi.
Alvin kecil telah belajar melepaskan. Alvin kecil telah mencecap kehilangan. Melepaskan mimpi-mimpinya. Kehilangan kesenangannya. Tapi tak apa. Demi Papa.
Bagi Alvin, kata-kata Papa bak titah Raja.
KAMU SEDANG MEMBACA
One Piece of Heart
Teen FictionAda cinta disana. Ada debar rindu tak terbaca. Ada cemburu yang begitu saru. Ada kecewa bertalu-talu. Lalu luka menyesak dada. Bagiku kau candu, aku menginginkanmu. Bolehkah? Ada rasa berbeda, mengalun tanpa suara. Cintakah? Cinta. Hal yang dikecap...