Jealous [2]

1.7K 111 22
                                        

Kemarahan itu terasa bias, karena sedang kamu sibuk menyangkal, hatimu telah lebih dulu takut kehilangan.

Malam sudah menjelang dini hari saat Sivia masih juga gagal larut dalam tidurnya. Resah. Perasaan itu menyiksanya tanpa reda. Membuang habis rasa kantuknya. Ia tidak menyukai perasaan semacam ini, terlebih Ia tahu jelas penyebab keresahannya walau Ia coba sangkal setengah mati.

Sivia memandang langit-langit kamarnya dan membuang nafas gusar. Ia tidak tahu, kenapa pemuda itu menyita pikirannya begitu banyak. Ia tak paham, kenapa justru Alvin yang membuatnya merasakan hal semacam ini, pertama kali selama tujuh belas tahun eksistensinya. Sivia mendesah. Kenapa memang kalau Alvin punya gadis incaran? Kenapa Ia merasa tidak suka? Kenapa Ia marah pada Alvin atas keisengan Cakka? Kenapa Ia kecewa? Dan banyak tanya kenapa berukuran besar memenuhi otaknya.

Drrrtttt...

Bunyi pesan yang baru saja masuk menginterupsi Sivia. Ia mengulurkan tangan, meraih ponselnya di atas nakas. Penasaran, siapa yang mengiriminya pesan tengah malam begini.

Alvin Mandala: Rain

Sivia sedikit terkejut mendapati siapa oknum pengirim pesan tengah malam itu. Alih-alih membalasnya, Sivia justru mengabaikan pesan itu. Namun, belum sempat ia meletakkan kembali ponselnya di nakas, satu pesan kembali masuk.

Alvin Mandala: Gue tau lo belum tidur
Alvin Mandala: Sorry

Sivia menghela napas panjang sebelum memutuskan untuk membalasnya.

Rain Sivia: Sorry? Untuk?

Alvin Mandala: Anything.

Rain Sivia: Hmm

Alvin Mandala: Maaf gue bikin lo marah

Sivia mengernyit, merasa tak enak hati. Seharusnya, dia ngga perlu marah kan?

Rain Sivia: Gue ga marah

Alvin Mandala: Gue ttp minta maaf

Sivia mendengus. Kalo Alvin begini kan dia semakin merasa bersalah.

Rain Sivia: Pokoknya gue ga marah dan jgn minta maaf

***

Rain Sivia: Pokoknya gue ga marah dan jgn minta maaf

Alvin mendengus membaca pesan masuk di ponselnya. Ia tidak habis pikir, gadis itu yang marah tidak jelas dan mengatainya tidak peka, sekarang Ia sudah merendahkan diri untuk minta maaf dan katanya jangan minta maaf. Ada apa dengan makhluk cantik di dunia ini?

Sebenarnya Alvin juga masih belum paham dimana kesalahannya. Ia hanya menuruti saran Gabriel untuk meminta maaf pada Sivia, apapun alasannya. Tadi setelah Sivia memutuskan sambungan telepon, Alvin menghubungi Gabriel dan menceritakan keanehan gadis itu, yang hanya di respon dengan tawa terbahak Gabriel. Kemudian Gabriel memintanya untuk melakukan apa yang baru saja di eksekusinya ini.

Alvin Mandala: Yaudah sana tidur

Rain Sivia: Drmn tau gue blm tidur

Alvin Mandala: Gue tau lo mikirin gue

Rain Sivia: HAHAHA lucu

Alvin Mandala: gue tau lo galau mikirin yg tadi

Rain Sivia: apasih

Alvin tersenyum membaca balasan singkat gadis itu. Ia yakin saat ini pasti Sivia sedang mendumel dan memaki-maki dirinya. Alvin terkekeh kecil membayangkan kemungkinan itu.

Alvin Mandala: tenang aja. Gue tau kok, krn gue sama galaunya kyk lo

Rain Sivia: BODO

Kali ini Alvin terbahak. Ia tidak tahu, kenapa perasaannya bisa menjadi begitu ringan hanya karena gadis itu sudah kembali seperti sedia kala.

Alvin Mandala: G'night pillow head

***

Kenyataan sesungguhnya yang di sodorkan tanpa peringatan ternyata menciptakan satu sayatan baru yang lebih dalam di hati Pricilla. Pricilla menyadari luka-luka itu sangat menikamnya. Mewujud dalam bentuk hampa, sesal dan rasa sendirian. Seperti tidak ada siapa pun di atas bulatan bumi kecuali dirinya sendiri. Luka itu kemudian pecah dalam bentuk tangis yang tak kunjung berhenti sejak malam lalu dan Ray-lah satu-satunya orang yang tahu dengan pasti keadaannya.

Hari ini Ray dan Pricilla baru muncul di sekolah setelah nyaris bel. Ray dengan wajah yang tampak kacau dan Pricilla dengan kedua mata masih bengkak bekas menangis semalam.

Pricilla melangkah pelan. Kepalanya tertunduk. Ia tidak tahu kemana Ray pergi. Kakaknya tadi membisikkan entah apa. Sesuatu yang mengatakan tujuan Ray tapi tak dapat ia cerna lagi dengan indera nya.

Alvin juga baru datang. Dari arah berlawanan pemuda itu menangkap sosok Pricilla lewat sudut matanya. Seketika keinginan untuk menghindar muncul. Ia hanya tidak mau, kejadian seperti yang telah lalu terulang dan berujung konfrontasi. Tapi kemudian disadarinya langkah-langkah Pricilla terlihat gontai. Kepalanya yang kali ini tanpa hiasan apa pun, tertunduk. Segera dihampirinya gadis itu dan dihentikannya langkahnya tepat di hadapan.

Pricilla tersentak dan seketika menghentikan langkah. Dia menatap kosong sosok yang ada di depannya. Tidak ada keinginan menegur atau sekedar berbasa-basi. Pricilla tidak tahu, seharusnya ia berkata apa.

"Lo kenapa?"

Alvin murni khawatir melihat kondisi gadis di depannya. Walau bagaimanapun, Pricilla adalah sahabatnya juga. Orang-orang terdekatnya. Sayangnya, Pricilla tidak memiliki kekuatan sekedar untuk mengatakan dia baik-baik saja. Ia sedang tidak bisa berpikir bahkan mungkin hal paling sederhana sekalipun saat ini. Dan jawaban untuk pertanyaan Alvin tadi adalah bungkam.

Alvin bingung. Fokusnya tertuju pada kedua mata Pricilla yang sembap. Yang jelas-jelas habis menangis. Kemungkinan semalam.

"Lo abis nangis? Ada masalah apa?"

Bukannya mendapatkan jawaban, pertanyaan Alvin itu justru membangkitkan kembali sesak yang coba di tekan oleh Pricilla. Pricilla menutup mulutnya, mencegah agar ia tidak menjerit dan menjadi tontonan seantero sekolah.

"Prisss.."

Tangis Pricilla kembali pecah. Air mata dan isakannya itu mau tak mau membuat Alvin pilu. Ia tidak tau apa yang terjadi pada gadis ini dan tidak tahu apa yang semestinya ia lakukan. Bingung. Kasihan. Maka, coba di redamnya rasa penasarannya sampai ke dasar dan di ulurkannya kedua tangannya. Di bawanya gadis yang masih terisak itu dalam pelukannya. Sekedar penghiburan. Sekedar berusaha ada untuk sahabatnya. Sekedar berempati pada orang-orang terdekatnya.

Namun, yang hanya sekedar itu tak terbaca sama oleh sepasang bola mata yang saat ini menatapi mereka. Ada guratan luka dan kecewa tergambar samar dalam bening bola mata itu. Lalu di ayunkannya langkah kakinya untuk pergi karena pada akhirnya ada sesuatu tak kasat mata mencengkeram hatinya melihat peristiwa tadi. Ia tidak mau sesuatu yang mulai dipahaminya melemahkannya disini.

***

Pengantar tidur yaa guys.. Gudnight :* :*

One Piece of HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang