Unknown [1]

2K 109 13
                                    

Jujur saja, aku telah tenggelam dalam kata-katamu, tersesat dalam matamu.

***

Seperti klise diciptanya Adam dan Hawa

Hai bujang, taukah kau mereka jatuh cinta pertama kali berjumpa?

Seperti usang sayembara cinta Sinta

Hai bujang, taukah kau Sinta mendamba Rama saat tatap pertama?

Seperti Romeo dan Juliet yang melegenda,

Cinta mereka termaterai sepanjang masa..

Lalu seperti aku yang mengulur tangan didepanmu

Hai bujang, sudikah menyambutku?

Pricilla melipat kertas berisi puisi tulisan tangannya, lalu diletakkannya selembar kertas berwarna merah jambu itu di lipatan buku tugas Fisikanya. Ia sudah memutuskan bahwa besok urusan perasaannya harus selesai. Ia akan mengungkapkan seluruh perasaannya pada seseorang yang dua tahun ini dipujanya melalui surat itu. Pricilla tidak ingin menunda-nunda lagi, karena bayangan pemuda yang dipujanya akan menjadi milik gadis lain menari-nari di pikirannya sepanjang waktu. Ia akan mengusahakan segala cara, segala cara agar pemuda itu menjadi miliknya.

***

"Jangan.."

"Ampun Pa.."

"AARRRGGHHH.."

Gabriel mendorong pintu kamar itu dengan keras, lalu menghambur masuk kedalam. Ia baru saja memejamkan mata beberapa menit lalu secara refleks membuka matanya saat mendengar teriakan keras tersebut. Dia terduduk di sisi ranjang, menyelipkan tangan di sela jemari Sivia yang menggapai-gapai sesuatu tak kasat mata di udara, lalu menatap lurus ke arah gadis itu, berusaha mengabaikan rasa paniknya.

Tapi tetap saja kekhawatiran itu merasuk seperti aliran listrik yang tak terlihat, ratusan volt yang bisa menghanguskannya kapan saja. Dia sudah pernah melihat kejadian yang sama bertahun-tahun yang lalu, tapi tetap saja, mengalaminya lagi membuatnya ketakutan setengah mati.

Tidak adiknya. Tapi sial, dia bukan Tuhan yang bisa mendapatkan segala hal yang dia inginkan.

Gabriel menelan ludah, menepuk-nepuk pelan agar gadis itu membuka mata.

"Bia.. wake up.. open your eyes"

Sivia membuka mata spontan dan langsung menghambur kedalam pelukannya.

"Gab..."

Gumaman lirih bernada serak itu mengirimkan getar menenangkan ke seluruh tubuh Gabriel, yang hanya bertahan sesaat karena kemudian dia menyadari betapa fatalnya situasi yang terjadi.

Bahu Sivia bergerak turun naik tanpa kendali, dan ada isakan yang tak bisa disembunyikan saat ia memeluk Gabriel semakin erat. Seolah meminta perlindungan.

Gabriel merasakan bagian leher dan bahunya basah, karena gadis itu menyurukkan wajah disana. Menangis.

"Hey... it's okay. It's okay. You are safe."

Dia memegangi kedua bahu Sivia, menariknya sedikit menjauh agar dia bisa menatap langsung ke wajah gadis itu dengan leluasa. Hatinya mencelos melihat ketakutan yang tak dapat disembunyikan dua mata hujan itu.

"He meet me. Say if he hate me so much.. and want.... want me to...-" Sivia berkata dengan suara terputus-putus sarat ketakutan dan dua bola mata yang bergerak liar.

"Gab, he said i'm a killer.. No Gab, i'm not." Ucap Sivia disertai isakannya yang kembali muncul.

Gabriel tidak tahan. Ia menarik lagi gadis itu ke dalam pelukannya.

One Piece of HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang