First of All

2.1K 115 29
                                        

(Dua puluh tahun yang lalu, Jakarta, 1995)

Pagi itu, Rusman Akbar menyuap oatmeal-nya lalu memandang ke arah dua orang lain yang duduk di meja makan yang sama. Wanita yang dinikahinya, Risma dan putra bungsunya, Mahesa Akbar.

"Jadi.." Rusman memulai obrolan pagi itu, Kapan kamu bersedia untuk bertemu Renata, Esa?"

Mahesa yang mewarisi ketampanan ayahnya, menghentikan kunyahan pada roti bakar mentega yang sedang dilumat mulutnya seketika. Ia mendengus lalu menelan gumpalan yang masih tertahan.

"Berhentilah, pa. Papa nggak perlu jodoh-jodohin aku seperti ini."

"Ini penting, Mahesa. Usiamu sudah cukup matang. Lihat kakakmu, dia sudah bahagia sama keluarga kecilnya."

Risma ikut menyambar, "Papa sama mama cuma mau gadis yang pantas untukmu di masa depan, Esa. Hal yang biasa bagi keluarga baik-baik untuk mendapat pasangan dari keluarga baik-baik juga. Memangnya kamu masih berhubungan dengan si penyanyi Kafe itu?"

Mahesa mengernyit, "Lidya maksud mama?"

Risma mengangkat bahu, "Siapalah.."

"Masih lah, Ma."

Risma berdecak, "Kamu ini pacaran dengan gadis yang tidak jelas asal-usulnya."

Mahesa memandang Mamanya sekilas dengan pandangan yang sangat tajam. Pembicaraan semacam ini sudah berlangsung berkali-kali. Mahesa sudah mengatakan bahwa Ia menyukai Lidya. Meskipun penyanyi Kafe, Mahesa yakin Lidya adalah wanita baik-baik.

"Please Ma, Pa. Lidya itu gadis yang aku pilih. Aku nggak mau di jodohin sama Renata Renata itu hanya gara-gara balas budi. Lagian kenapa nggak bang Adrian aja sih yang dulu nikahin perempuan itu?"

Rusman memandang ke manik mata anak bungsunya yang berbinar Bengal. "Rentang usia abangmu sama Renata itu terlalu jauh. Kamu pikir kamu bisa hidup enak seperti ini karna jasa siapa? Ini semua berkat kakeknya Renata. Pokoknya itu amanat Papa. Mau tidak mau, suka tidak suka, kamu harus nikah sama Renata." kata Mahesa final sambil menandaskan sarapannya.




***

Sivia membeku dalam lengan yang merengkuhnya. Lengan yang menenggelamkannya. Lengan yang membunuh jarak di antara mereka. Ia bahkan merasa ada dan tiada ketika mendengar bisikan itu. Bisikan itu hanya menelan sekejap waktu. Namun, sekejap itu seperti menghentikan laju sang waktu. Sekejap itu menyingkap yang tersembunyi. Sekejap itu tak terpahami. Sekejap yang seperti abadi.

Sivia akhirnya meluruh dalam dekapan itu, membiarkan tangis mengalirkan semua kesesakan keluar dari pembuluh darahnya. Membiarkan harum adiksinya mengembalikan nafas dan mencuci bersih ingatannya dari segala hal yang menyesakkan dadanya. Sivia tak tahu kenapa matanya berkunang, atau apakah Alvin betul-betul mencium puncak kepalanya. Karena setelah itu pening hebat datang. Dan segalanya menghilang.

Alvin mengangkat bibirnya dari puncak kepala Sivia ketika di rasakannya tubuh dalam dekapannya itu meluruh. Di uraikannya pelukannya sejenak untuk melihat kondisi gadis itu. Kedua mata terpejam dan bibir pucat itu lalu menghentak kesadaran Alvin. Terburu dikeluarkannya ponsel dan Cakka menjadi orang pertama yang dikontaknya. "Kka, tolong bawain tas sama jaket gue sekarang. Bawa ke Mobil gue ya."

Alvin menutup panggilannya, dijauhkan ponsel dari telinga, lalu dicarinya nama Gabriel di daftar kontak.

To: Gabriel

Adek lo pingsan. Gue anterin pulang langsung ya.

Sent.


***

One Piece of HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang