Unknown [2]

2.2K 115 23
                                    

Di dalam ruang kerjanya yang sunyi Mahesa terpekur seorang diri. Menyandarkan kepala pada kursi kerja, satu-satunya benda mati yang menjadi saksi setiap kejatuhannya. Mahesa mendesah lelah. Kehadiran kembali putri kecilnya membuat luka lamanya seolah digarami kembali. Dokumen kerja yang menumpuk tak dapat lagi mengamuflasekan segala keresahannya, kekalutannya. Jadwal meeting yang mencekik tidak bisa mengaburkan sesal yang selalu memburunya. Sesal yang selalu membayanginya selama delapan tahun ini. Selalu. Setiap hari.

Pria itu menarik nafas, memperhatikan bingkai foto tiga belahan hati yang menghias meja kerjanya lantas tenggelam dalam pengandaian. Jika dulu, ia tidak begitu egois akankah segala hal berjalan seperti ini?

Pricilla, putrinya yang sejak kecil dibanjirinya cinta sekarang menjadi gadis yang keras hati dan ingin menang sendiri. Segala tindakan keterlaluan Pricilla memang di luar kuasanya. Wujud luka hati yang menuntut pembalasan rasa. Tapi sesungguhnya hanya dirinya yang salah disini. Bukan yang lainnya.

Ray, jagoannya. Putranya yang ia yakin, sepuluh tahun lalu adalah anak kecil cengeng yang masih suka mengadu dan menangis ketika layang-layangnya dihina oleh teman sepermainannya. Sepuluh tahun lalu.... betapa waktu berjalan begitu cepat. Sekarang Ray adalah anak muda penuh tanggung jawab. Yang tidak lagi bergelayutan di lengannya. Bahkan terang-terangan berkata berdiri untuk melawannya.

Sivia. Pantaskah ia menyebut itu putrinya? Apakah seorang ayah hanya seorang laki-laki yang menyumbangkan DNA lantas mengacuhkannya? Seorang malaikat cantik yang selalu memanggilnya Papa dengan mata berkaca-kaca tapi sering tak dihiraukannya. Yang tak pernah ia gendong tubuhnya. Yang tak pernah ia pedulikan tangisnya. Yang sering ia abaikan tanyanya. Yang ia lupakan perayaan ulang tahunnya. Masihkah ia pantas di panggil Papa? Lalu dirinya ini ayah macam apa? Terlambatkah ia untuk mengatakan tiga kata saja, Papa sayang Bia.....

Mahesa mendesah samar, merasa harus segera menyelesaikan sesuatu. Baik pada masa ini maupun pada masa lalu. Benar, tidak ada satupun tindakan yang bisa menebus kesalahannya puluhan tahun berlalu. Tetapi ada satu hal yang bisa ia lakukan untuk menyelamatkan segalanya yang belum terjadi, sekaligus mencegah terjadinya kerusakan yang nantinya akan menghancurkan semua pihak. Sudah cukup sakit hati ini sampai disini. Sudah cukup kepahitan ini mengganjal hati. Untuk berjalan ke depan, harus dengan dada yang lapang.


***

Cakka sedang leyeh-leyeh di atas kursi rotan di teras rumah Shilla sambil membaca majalah otomotif milik kakak Shilla. Sedangkan Shilla sendiri duduk terpisah darinya oleh sebuah meja kecil di tengah mereka.

“Shill...”

Shilla hanya menjawab dengan gumaman. Masih sibuk membaca novel baru yang dibelinya minggu lalu.

“Kamu tau nggak, Rio tadi habis nonjok Alvin?”

“Hah?” Shilla menoleh cepat ke arah Cakka. “Kok bisa?” tanyanya tak percaya. Seakan-akan Cakka baru saja mengatakan Telletubies bertambah anggotanya.

“Bisa lah..”

“Gimana ceritanya?”

Cakka menghela nafas lalu menceritakan insiden tadi siang di Sekolahnya.

*

Cakka melirik Alvin yang berjalan dengan wajah datar di sebelahnya.  Mereka berada di koridor utama menuju kelasnya. Cakka berdehem sekali, sebelum mulai membuka suara.

“Vin..”

“Hmmm..”

“Menurut lo, apalagi ya yang belum di ceritain Iel?”

One Piece of HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang