Damai

539 56 18
                                    

Kita mendapatkan masalah karena kita tidak mengungkapkan perasaan kita. Pura- pura membenci dan pura- pura mencintai..

*
"Bi..."

Sivia mengalihkan perhatian dari ponsel di genggamannya, ketika satu suara menyebut namanya ragu-ragu. Sivia sedikit terkejut, namun segera mengendalikan ekspresinya ketika Pricilla mendekatinya dengan wajah tegang dan sorot mata cemas yang begitu kentara.

Mereka sedang didalam tenda. Berdua. Tanpa Shilla dan yang lain, yang entah dengan cara bagaimana, bersedia mengabulkan permintaan Pricilla, untuk meninggalkannya berdua Sivia.

Sivia berdehem kecil, memecah kecanggungan. "Ya. Ada apa?"

Yang ditanya masih duduk bersimpuh di depannya. Dengan kepala tertunduk sempurna, dan jari-jari tangan yang saling bertautan.

"Felish...."

"......"

Kening Sivia berkerut heran. Ragu-ragu, ia memberanikan diri bertanya sekali lagi dan menyentuh bahu gadis di depannya pelan. "Lo kenapa?"

Sivia menarik tangannya cepat, kaget saat Pricilla mengangkat kepala dan balas menatapnya. Kedua bola mata Pricilla sudah merah dengan air yang juga sudah mengambang di kedua pelupuknya. Namun, bukan itu yang membuat Sivia terkesiap. Tapi sorot mata gadis itu yang baru kali ini dilihatnya. Sorot mata yang sama seperti miliknya bertahun-tahun lalu. Terluka dan kesepian. Seakan berputus asa, mengapa dunia begitu tidak adil padanya.

"Lo..." Dalam hati Sivia mengingatkan dirinya sendiri untuk bersikap sebiasa mungkin. "....kenapa?"

Pricilla mengerjapkan matanya sekali. Dan satu tetes air yang sejak tadi menggantung di matanya akhirnya jatuh. Disusul satu tetes lagi, dan akhirnya air matanya tumpah ruah.

Sivia nampak panik. Ia tidak tahu harus bagaimana. Menghadapi Pricilla yang meledak-ledak dan membencinya adalah sesuatu yang biasa. Yang luar biasa adalah menghadapi Pricilla yang seperti saat ini didepannya.

Sivia bukannya tidak ingin bertanya lagi "kenapa", tapi ia menahan diri. Hubungan mereka tidak bisa dikatakan baik. Salah bicara sedikit, bisa timbul masalah lagi. Dan Sivia sudah bosan.

Menghibur Pricilla yang sedang menangis adalah hal terakhir yang pernah dibayangkan Sivia dalam hidupnya. Ia mengamati dalam diam gadis yang masih sesenggukan itu. Tangisannya begitu pilu, dan tanpa bisa ditolak rasa sesak ikut merambati hati Sivia.

"Mau gue panggilin Ray atau Rio?" Diantara hal-hal lain yang mungkin bisa dilakukan, Sivia merasa apa yang barusan ia tawarkan adalah yang paling masuk akal. Kedua orang itu bisa jadi adalah yang paling mengerti Pricilla.

Atau Alvin?

Suara hatinya barusan, tiba-tiba menyadarkan Sivia pada satu hal. Gadis ini menangis, apakah karena ia dan Alvin?

Sivia menggeleng-gelengkan kepalanya pelan. Berusaha menolak argumentasi yang muncul liar di kepalanya.

"Gue pang-

"Ma-af.."

Satu kata itu membekukan gerakan Sivia yang hendak bangkit mencari Ray. Jantungnya berdentum keras. Ia mengerjapkan mata, lalu menatap Pricilla yang juga sedang menatapnya dengan mata basahnya.

"Lo bilang apa?" tanya Sivia datar. Takut kalau dirinya hanya salah dengar.

Pricilla mengusap air matanya yang masih menetes, berusaha menghentikan tangisnya. "Gue minta maaf."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 02, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

One Piece of HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang