Rain?

2K 118 0
                                    

Taman belakang sekolah, merupakan satu spot paling memanjakan mata di SMA Ursala. Pohon yang tumbuh berjajar dengan rindang. Aneka bunga segala jenis yang tumbuh terawat. Kursi panjang berderet-deret setiap lima meter dibawah pohon akasia, dan menghadap danau buatan yang terletak ditengah taman sebagai centre-nya. Sebuah kombinasi alam yang indah. Hanya saja terlalu sering dilewatkan. Karena siswa SMA Ursala sebagian besar telah jatuh cinta pada Kimia dan tergila-gila Fisika, jadi perpustakaan terasa lebih menggoda di bandingkan taman dan segala tetek bengeknya.

Tapi tidak untuk dua nyawa yang saat ini duduk di salah satu kursi panjang disana. Duduk menghadap danau jernih di depannya. Tak ada suara apapun. Hening.

Rio mendesah jengah. Tak tahu sejak kapan ia membenci hening. Menyesakkan. Membuatnya frustasi setengah mati karena tak mampu lagi –entah sejak kapan- membaca tatapan mata gadis di sebelahnya.

“Ehmm..” Dehem Rio.

Gadis tadi melirik Rio sepintas, seolah baru menyadari kehadirannya. Kembali gadis itu menarik pandangannya ke depan. Menyisakan Rio sebagai objek tak menarik atau mungkin tak kasat mata.

“Lo kenapa sih?” tanya Rio akhirnya. Tapi hanya dibalas dengan desau angin disekitarnya.

“Priss..” Desaknya, tak tahan.

Pricilla –gadis itu- hanya mengangkat bahu dan berujar lirih. “Ga pa-pa”

Rio menaruh telapak tangannya di puncak kepala Pricilla lalu memutarnya hingga kini gadis itu memandangnya. “Ck. Kenapa sih lo? Cerita aja sini sama gue. Lo tahu ga pasien di rumah sakit jiwa tuh makin banyak gara-garanya kayak begini, mendem masalah sendiri.”
 
Entah karena raut Rio saat itu benar-benar terlihat prihatin atau mungkin karena Pricilla merasa nyaman saat terperangkap dalam kilatan mata tenang yang ditatapinya, gadis itu pun membuka mulutnya.

“Ray.. gue yakin lo udah tahu”

Rio mengangguk-anggukan kepalanya. Bersahabat dengan trah keluarga Akbar sejak kecil, membuatnya sedikit banyak tahu apa yang terjadi pada sahabat-sahabatnya. Gabriel yang begitu dingin di dekat Pricilla, dan Ray –saudara kembar Pricilla- yang walau tak sedingin Gabriel tapi membentang jarak tak kasat mata.

Rio tak pernah berani bertanya ‘kenapa’, sedekat apapun hubungan persahabatan mereka. Yang Rio tahu, semua bermula ketika satu gadis kecil lainnya –selain Pricilla- menghilang bertahun-tahun lalu. Sosok yang juga dikenal Rio begitu dekatnya. Dan Rio cukup tahu diri untuk tetap tak bertanya, walau rasa penasaran merongrongnya sekian lama.

You don’t know a thing about me. Not. At. All.”

Itulah kata-kata yang dikeluarkan Gabriel dengan penuh penekanan beberapa hari yang lalu, ketika Rio menemuinya di kelasnya, mencoba mencari tahu perihal pertengkarannya dengan Pricilla, untuk yang ke sekian kali. Untuk tahu sedikit saja, alasan kenapa ia memperlakukan sepupunya sendiri bagai wabah. Dihindari. Dijauhi. Tapi jawaban Gabriel hanya menegaskan bahwa usahanya menemui pentolan OSIS itu tak akan merubah apa-apa. Ia tak akan mendapatkan apa-apa. Dan meskipun mereka berteman hampir seumur hidup, jawaban Gabriel jelas menyiratkan bahwa Rio tidak tau apapun. Sama sekali.
Dan Rio jelas menolak untuk menanyakan hal yang sama pada Ray, atau pada gadis yang saat ini duduk disampingnya, karena hasilnya akan tetap sama. Ia tak akan mendapat jawabannya.

Rio mengembalikan fokusnya pada Pricilla. Gadis ini masih didepannya, tapi Rio tak tahu pasti jiwanya entah berada dimana.

“Lo tahu, lo masih selalu punya gue.” Ucap Rio, tulus. Menyentak kembali kesadaran Pricilla.

Pricilla mendesah lalu menunduk, namun tiba-tiba menepuk pipinya sendiri.
 
“Ah, tahu ah. Udah biasa ini.” Pricilla tertawa sarkatis.
 
Rio mengerutkan kedua alisnya hingga bertaut, kemudian memandang Pricilla dan tersenyum maklum “Udah biasa tapi masih nangis juga?”
 
Pricilla melirik Rio sepintas “Yaa.. kali ini berasa lebih kosong aja..”

One Piece of HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang