Yang Sebenarnya

2.3K 142 33
                                    

"Jangan terlalu memanjakan anak itu. Kamu harus mendidiknya mulai dari sekarang, Redo." Suara pria paruh baya itu menginterupsi kegiatan laki-laki muda yang sedang sibuk dengan berkas di hadapannya.

Redo -lelaki muda itu- mengalihkan fokusnya dari laporan perusahaan yang tengah di periksanya, lalu mendongak menatap tak suka pada pria paruh baya itu. "Pi, dia masih kecil. Masih lima tahun. Biar aja dia jadi anak-anak kecil seusianya."

"Karena dia masih kecil, maka dari itu Papi minta kamu mulai kenalkan dia dengan perusahaan. Kecerdasan itu harus dilatih sedini mungkin. Ingat Redo, papi mendirikan Mandala Group dengan susah payah."

Redo menghela napas lelah. "Terus papi mau Redo melakukan apa? Mengajaknya ke kantor setiap hari? Meminta dia menemani Redo bekerja?" kata Redo sarkastis. Sama sekali tidak bisa memahami jalan pikiran ayahnya.

"Cukup dengan jauhkan dia dari hal-hal yang berpotensi menarik minatnya lebih dari bisnis. Main bola, basket, musik. Larang. Halangi apa saja yang sekiranya dia sukai."

"Demi Tuhan pi.. Dia bahkan belum genap lima tahun. Semua itu berlebihan. Redo bahkan baru mengenal perusahaan menjelang kuliah." Seru Redo frustasi.

Pria paruh baya itu menyipitkan mata menatap anak semata wayangnya. "Karna dalam diri kamu mengalir darah papi. Karna kamu anak papi, dan papi yakin kamu akan berada di jalan yang memang papi tentukan."

Redo menelan ludah susah payah saat menyadari kemana arah obrolan ayahnya. "Dia juga tidak akan kemana-mana pi." Jawabnya pelan. "Dia juga akan mengikuti garis yang ada. Karna dia anak Redo."

"Iya dia anak kamu." Sahut pria itu pelan dan dalam. Ia menyunggingkan senyum meremehkan yang membuat hati Redo ngilu melihatnya. "Tepatnya, A-NAK pungut....."

***

Taman kota itu terasa sepi pada jam-jam seperti ini. Saat bukan di akhir pekan. Saat jam-jam produktif, dimana anak sekolah akan belajar, pengusaha akan tenggelam dalam pekerjaan di kantor dan berbagai aktivitas sedang dilaksanakan oleh beragam profesi. Karena itulah Ia memilih tempat ini. Untuk sejenak menepi meredam emosi.

Pemuda itu melempar satu kerikil ke air danau di depannya. Menimbulkan bunyi kecipak air yang semula tenang. Lagi, ia melempar kerikil ke air jernih itu. Kali ini lemparannya lebih keras. Seolah satu kerikil yang Ia lempar adalah satu level emosi yang Ia buang.

Pemuda itu menghela napas panjang. Menyadari bahwa untuk kesekian kali ia kehilangan kendali diri. Karena gadis itu. Selalu gadis itu.

"Vin..."

Pemuda itu menoleh kala sebuah suara tertangkap inderanya. Ia mendapati Cakka beserta Gabriel berdiri di belakangnya. Bahkan, ia tak menyadiri kehadiran sahabatnya ini.

"Kayaknya tadi gue cuma ngajak lo deh, Kka." Sindir Alvin. Pasalnya, Alvin memang hanya meminta Cakka menemaninya membolos. Dan bukan mengajak Gabriel.

Cakka menggaruk tengkuknya yang tidak gatal sambil nyengir. Sementara Gabriel, mendengus melihat sikap Alvin yang memang tidak pernah basa-basi. Keduanya lalu duduk di sisi kanan-kiri Alvin, di tepi danau.

"Lo bakal lebih kesel lagi kalo liat siapa lagi yang bakal dateng bentar lagi." Ucap Gabriel cuek setelah menjatuhkan dirinya di samping Alvin.

Alvin berdecak lalu menatap tajam Cakka. Yang di tatap hanya memasang senyum tanpa dosa. "Yahh, masa lo bolos mau sendiri sih. Kan enakan rame-rame. Lagian kita udah lama ngga cabut berempat." Kilah Cakka.

Alvin tidak menghiraukan perkataan Cakka. Kembali ia menatap jauh ke arah danau. Sesaat hening terasa begitu pekat. Mereka bertiga diam dan tenggelam dalam pikirannya sendiri-sendiri.

One Piece of HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang