Aku Mah Apa Atuh

1.9K 101 3
                                    

Segala yang ada pada dirimu, bagiku, mengalir menikam hatiku, begitu saja. Begitu lembut. Begitu lurus. - A Cat In My Eyes-

***

Tersembunyi dalam sepasang bola mata yang kini berkilat di luar jendela ruang kelas XI IPA II sebentuk siratan bermakna. Kecewa, terluka, dan marah tak berkesudahan pada satu sosok yang ditatapnya didalam ruang sana. Pricilla mengepalkan tangannya kuat-kuat. Meredam segala rupa emosi yang bercampur lebur dalam dadanya. Perlahan, ditinggalkannya tempat itu. Ada yang harus ia temui. Orang yang pasti bisa menjawab apa yang baru saja ditangkap matanya.

***

Gabriel, Ray, Febby dan beberapa anggota OSIS lainnya baru saja mengistirahatkan tubuhnya setelah mengorientasi siswa baru ketika pintu ruang sekretariat OSIS menjeblak terbuka. Dan disanalah Pricilla, berdiri dengan wajah yang nampak kaku dan berbahaya, mengabaikan pandangan takjub beberapa pasang mata, yang baru kali ini melihatnya dengan ekspresi yang tak biasa.

“Gue mau ngomong..” ucap Pricilla tajam memandang ke arah kakak dan sepupunya bergantian.

Gabriel mendesah malas, lalu memberikan isyarat seperti meminta pada rekan-rekannya untuk meninggalkan mereka.

“Ada apa?” tanya Gabriel datar, begitu hanya tersisa dirinya, Ray dan Pricilla.

“Jelasin ke gue, kenapa ada cewek itu disini?” tanya Pricilla tanpa basa basi.

Gabriel hanya mengangkat alisnya, “Cewek? Siapa?”

“Ga usah sok ga tau..” Pricilla masih menatap kedua saudaranya tajam. “Kenapa lo bawa balik cewek sial itu kesini?” teriak Pricilla akhirnya.

“Felish, jaga omongan lo..” bentak Ray. Tersulut juga dengan bara di bola mata adiknya.

“Maksud lo Bia?” tanya Gabriel tenang. Seolah sudah memprediksikan bahwa hal ini akan terjadi.

Pricilla hanya mengangguk, berusaha mengatur nafasnya yang memburu karena emosi.

“Kenapa emang kalo dia disini? Lo keberatan?” Gabriel berujar tenang. Ketenangan yang sewaktu-waktu bisa menghanguskan.

“Iya gue keberatan. Gue keberatan berada satu tempat dengan cewek brengsek itu. Kenapa sih lo mesti bawa dia balik? Kenapa ga lo biarin aja dia mati di Aussie? Kenapa ga lo biarin aja dia jadi gi-....”

“DIAAMMM..” murka Ray. Baru kali ini benar-benar meneriaki adiknya sendiri. Membuat Pricilla sesaat merasa palu godam memukul dadanya membabi buta atas keberpihakan Ray pada orang lain dan bukan dirinya.

“Dan lo kakak gue tapi lo belain dia.. lo ga sadar dia sumber penderitaan kita?” ucap Pricilla, memuntahkan saja apa yang ada dipikirannya. Tangisnya sudah pecah sejak beberapa menit yang lalu.

“Penderitaan apa?” tanya Ray jengah. “Lo yang terlalu egois, terlalu naif buat ga mau tau kenyataannya. Lo pikir, disini lo yang paling menderita?”

“Gue ga peduli..” desis Pricilla tajam. “Dia sumber semua rasa sakit gue.” Lanjutnya keras kepala.

“Dia sepenuhnya adik gue sekarang... ga ada urusannya sama lo.. lo pikir gue peduli dengan rasa keberatan lo?” tukas Gabriel tajam. Rahangnya mengeras pertanda bahwa kesabarannya sudah seringan kapas. “Dan jangan sampe gue liat atau denger lo cari masalah sama dia.. karena gue ga cukup baik buat maafin lo –lagi.” Tambahnya.

“Lo ngancem gue?” Alih-alih diam karena peringatan kakak sepupunya, Pricilla justru menunjukkan perlawanan.

Gabriel menarik satu sudut bibirnya ke atas. Tersenyum menyebalkan. “Kalo lo lebih suka nganggep kayak gitu.” Ucapnya sedingin laut Baltik.

One Piece of HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang