Silence

1.7K 132 11
                                    

Di matanya, Kota Jakarta sore itu tampak begitu memesona. Cahaya mataharinya yang kuning keemasan seolah menyepuh atap-atap rumah, gedung-gedung, dan kendaraan-kendaraan yang lalu lalang di jalan. Ia menolehkan kepalanya ke samping. Pada wujud seorang gadis yang sesungguhnya adalah alasan utama senja begitu memikatnya.

"Jadi, apa yang bikin lo nangis?" Ia kembali membuka suara setelah beberapa saat terdiam. "Lo marah karna semua orang nyembunyiin masalah ini dari lo? Atau.... lo marah sama Daddy lo?"

Dengan sisa-sisa air mata yang sudah mengering, gadis itu memutar tubuhnya menghadap pemuda yang sejak tadi menemaninya dalam bisu. Ia menatap pemuda itu lalu tersenyum tipis.

"Gue marah sama Daddy yang udah nyakitin Mommy sampe seperti itu." Gadis itu mengalihkan tatapannya pada lalu lalang kendaraan di bawahnya, seolah ia bercerita pada deru mesin itu dan bukan sosok di sampingnya. "Gue marah sama mommy yang ternyata begitu pengecut."

Gadis itu menelan ludah. Air matanya menetes lagi. Namun, kini ia tak berusaha menahannya seperti beberapa saat lalu.
"Gue marah karna cuma gue yang ngga tau apa-apa. Dan...... dan itu bikin gue ngerasa bego."

Sinar mata gadis itu meredup. Kembali ia terdiam. Kembali ia menarik napas panjang.
"Tapi, apa lo tau hal apa yang paling bikin gue marah, Yo?"

Menyadari tidak akan ada jawab untuk pertanyaannya itu, kembali gadis itu melanjutkan.

"Gue marah karna akhirnya gue tau kenapa selama ini semua orang nganggep gue jahat. Gue akhirnya tau bahwa selama ini ada yang lebih menderita daripada gue. Dan gue penyebab paling besar dalam penderitaannya."

Gadis itu tersenyum. Masih dengan air mata yang menetes satu-satu. "Dari kecil, gue selalu marah. Gue selalu mikir, kenapa hidup gue ngga enak banget dan hidup dia bahagia banget. Gue benci liat dia ketawa setiap hari, sedangkan gue... buat gue hal kayak gitu jarang banget terjadi. Tiap gue liat dia dan mamanya, gue ngerasa sakit banget. Dalam pikiran gue saat itu, gimana bisa mereka bahagia setelah bikin Mommy pergi. Setelah bikin gue dan Ray menderita. Waktu kecil, gue selalu berdoa supaya ada keajaiban yang bisa bikin Mommy muncul lagi depan gue. Begitu udah agak gede, gue sadar itu kayaknya gak mungkin. Dan doa gue berubah. Gue juga mau bahagia sama Daddy, sama Ray. Tanpa dia. Gue mau dia tau gimana rasanya ngga punya papa, sama seperti gimana rasanya gue ngga punya mama. Jauh sebelum dia." Kembali gadis itu terdiam.

"Dan akhirnya saat itu datang. Gue seneng..... seneng banget pas Daddy ngusir dia. Gue kira setelah itu kami akan bahagia. Tapi, gue salah. Bahkan gue ngga tau, sampe detik ini, apa gue pernah bahagia." Gadis itu tersedak tangisnya. Kalimat terakhirnya, menyentuh titik pusat seluruh luka-lukanya. Meruntuhkan pertahanannya.

Lara, Rio menatap Pricilla -gadis itu- tanpa bisa melakukan apa-apa. Ketika kemudian Pricilla menoleh dan menatapnya, Rio melihat kedua manik coklat itu hampir-hampir tanpa sinar di dalamnya. Hampa.

"Gue menderita sendirian. Bia menderita sendirian. Kita sama, merasakan sakit tanpa jeda. Dan di luar itu semua, gue masih nambahin penderitaannya."

Rio menggelengkan kepala. Pening. Nanar di tatapnya bahu bergetar di depannya. Dimatanya, Pricilla tidaklah sejahat itu. Gadis itu kesepian. Gadis itu juga di tinggalkan. Kasih sayang keluarga yang sempurna, yang tak pernah di dapatkan oleh Pricilla maupun Sivia.

Setiap titik kehidupan mereka adalah tangisan.
Setiap titik adalah kemarahan dan keputusasaan.
Setiap titik adalah tangis dan pertengkaran.
Setiap titik adalah pelukan dan rangkulan penghiburan.
Setiap titik adalah bahagia dan cinta yang samar.
Setiap titik sebenarnya adalah harapan bahagia yang tak kenal habis.
Namun, setiap titik adalah pertahanan yang jatuh bangun dan makin menipis.

One Piece of HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang