Minggu pagi yang cerah. Secerah jiwa muda-mudi yang hari ini terbebas dari rutinitas membaca, menulis dan mendengarkan ceramah guru.
Ray selesai mengikatkan tali sepatunya ketika suara langkah kaki mendekat kearahnya. Mendongak, Ray mendapati adik kembarnya berdiri beberapa meter di depannya dengan muka masam. Memang sejak kejadian di ruang OSIS tempo hari, terjadi perang dingin antara dia dan Gabriel versus Pricilla.
Setelah menyambar kunci mobilnya, Ray melangkah keluar di ikuti Pricilla yang mengekor di belakangnya. Hari ini Ray dan kawanannya memang berencana menghabiskan akhir pekan ke Dufan.
"Adek kesayangan lo, ikut juga?" tanya Pricilla datar tanpa menatap Ray.
Ray yang tidak menyangka Pricilla mengajaknya bicara hanya menaikkan alis dan melirik Pricilla sekilas.
"Kalo yang lo maksud Bia, ya dia ikut." Jawab Ray tak kalah datar.Pricilla tak berkomentar apa-apa lagi. Ia membuang pandangannya ke luar jendela mobil. Sibuk dengan pikirannya sendiri.
***
8 remaja itu berdiri di depan loket. Menunggu barisan mbak-mbak pemegang stempel mengecap tangan mereka dengan cap Dufan. Mereka melangkah memasuki kawasan Dufan. Sangat ramai, khas hari libur.
Setelah berada dalam kawasan Dufan, Cakka dan Shilla langsung saja memisahkan diri dari rombongan. "Kan gue juga mau pacaran" begitu alibi Cakka, saat Alvin protes karena agenda awal acara mereka bukan "nganterin Cakka pacaran".
Lalu di ikuti Ray, Gabriel, Ify dan Febby yang sudah tidak sabar mencoba semua wahana yang ada. Menyisakan 4 orang lain yang berdiri bersisihan dalam diam. Canggung.
"Ini kenapa jadi pada misah-misah, sih. Katanya jalan bareng.." gerutu Alvin.
Tidak ada yang menanggapi keluhan Alvin. Tiga orang yang lain -Sivia, Pricilla, Rio- hanya diam, walau sesungguhnya kesal juga.
"Yo, temenin gue ke souvenir shop yuk.." ajak Pricilla.
"Ga mau nyoba ke wahana apa gitu?" tawar Rio.
"Ntar aja, males. Ngantrinya masih panjang." rajuk Pricilla
Rio mengangguk. Pamit pada Alvin dan Sivia, lalu menggenggam tangan Pricilla menuju Souvenir Shop.
Sivia menatap dua punggung yang bergerak menjauh itu. Lalu melihat ke arah tangan Rio yang menggenggam tangan Pricilla. Sejurus kemudian, ada tangan tak kasat mata yang terasa mencubiti hatinya. Sivia menghembuskan napas panjang. Ia bukannya tidak tahu bahwa Rio menyukai Pricilla. Perhatian yang diberikan Rio untuknya dan untuk Pricilla tentu saja berbeda. Cara Rio memandangnya dan memandang Pricilla juga tak sama. Dan ia mengetahuinya, sejak dulu.
Alvin menatap gadis di sebelahnya yang hampir menangis dengan mata tak lepas memandang Rio dan Pricilla. Mendadak paham apa yang sedang terjadi di sekitarnya. Kenyataan bahwa gadis disebelahnya ini menyukai sahabatnya, Rio. Dan kenyataan lain bahwa sejak ia mengenal Rio, pemuda itu tak pernah melepaskan pandangannya dari Pricilla.
Alvin mendengus. Kenapa tak cukup hidupnya saja yang penuh drama? Bahkan orang-orang disekitarnya juga.
"Lo suka sama Rio ya?" tembak Alvin langsung.
Sivia yang masih menatap punggung Rio menoleh garang ke arah Alvin, walaupun ia tak tahu harus bagaimana merespon pertanyaan telak Alvin.
Sivia baru akan membuka mulut ketika Alvin memotong, "udah ga usah jawab kalo malu. Lagian keliatan kok."
Sivia melotot ke arah Alvin, "sok tau banget sih" gerutunya.
Alvin mengangkat sebelah alisnya. Tak tega juga melihat wajah merana gadis di sampingnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
One Piece of Heart
Teen FictionAda cinta disana. Ada debar rindu tak terbaca. Ada cemburu yang begitu saru. Ada kecewa bertalu-talu. Lalu luka menyesak dada. Bagiku kau candu, aku menginginkanmu. Bolehkah? Ada rasa berbeda, mengalun tanpa suara. Cintakah? Cinta. Hal yang dikecap...