Cinta berada sangat dekat dengan benci. Bahkan tak terkenali, apakah benci ataukah cinta.
***
Alvin terpana demi melihat sosok yang berdiri dihadapannya. Sial. Sial. Sial. Ia merasa pendingin ruangan di Lucky Cafe tiba-tiba berhenti menyala. Menyisakan aura panas yang tak nyaman.
“So, bisa lo jelasin, kalo bukan stalker, gue harus nyebut lo apa?”
Nah, kesialan Alvin menjelma dalam wujud gadis yang saat ini sedang menyedekapkan tangan di hadapannya. Menatapnya tajam.
“Gue bukan stalker dan gue rasa... gue yang ketiban sial ketemu lo dimana-mana.” Ucap Alvin tajam.
Gadis itu mengedikkan bahu. “Oke kalo lo bukan stalker. Minggir, gue mau duduk.”
“Enak aja, ini kursi gue.” Alvin menarik kursi itu lebih dekat ke arahnya.
“HAHAHA...” Gadis itu tertawa mencemooh. “Emang ini Cafe punya lo? Sejak kapan lo beli kursi disini?”
“Gue duluan yang nyampe sini.” Sela Alvin tak mau kalah.
“Ga bisa.. gue duluan yang nyampe sini. Lo cari aja kursi lain.” Gadis itu menarik kursi menjauh dari Alvin.
“Lo aja cari kursi lain sana.” Kata Alvin sengit, dan sekali lagi merebut kursi itu ke arahnya.
Tarik menarik kursi pun tak terelakkan. Alvin sepenuhnya paham bahwa mereka kini menjadi pusat perhatian para pengunjung Cafe. Pun sadar bahwa ia terlihat sangat kekanak-kanakan. Alvin Mandala rebutan kursi di Cafe? Ck. Unbelievable.
Tapi ego untuk menang dari gadis di depannya ini membuatnya tak lagi peduli jaga gengsi.Mereka masih saling menatap tajam. Kedua pencair tembaga itu menusuk mata hujan didepannya dalam-dalam. Merasakan hujan seakan mengaliri hatinya yang kering saat dua iris coklat itu balas menatapnya dalam.
“Ehm.. maaf mas, mbak. Tolong jangan mengganggu kenyamanan pelanggan lain. Mas dan mbak bisa memakai meja ini berdua. Ada dua kursi disini.” Seorang pelayan Cafe kira-kira berusia 6 tahun diatas Alvin, menghentikan aksi adu pelototan sepasang muda-mudi itu.
Gadis itu menoleh ke asal suara dan melempar senyum penuh permintaan maaf. “Ohh iya mas maaf. Ga pa-pa kok, cowok ini juga sebentar lagi mau pulang.” Gadis itu melirik Alvin dan tersenyum licik.
“Baik kalo begitu. Mbak bisa panggil kami kalo sudah ada yang mau dipesan.” Pelayan itu meninggalkan medan pertempuran sambil menggeleng-gelengkan kepala. Mungkin heran dengan kelakuan dua remaja tanggung itu.
“Apa-apaan itu tadi? Siapa yang mau pulang?” Alvin mendelik ke arah gadis itu.
Gadis hujan didepannya mengerjapkan mata lalu menggembungkan pipinya. Kesal. Ekspresi yang membuat Alvin ingin tertawa gemas kalau saja tak ingat bahwa gadis didepannya telah termaterai takdir untuk menjadi lawan debatnya sejak pertemuan pertama mereka.
“Jadi lo masih ga mau ngalah?”
Alvin hanya menanggapi dengan mengangkat satu alisnya ke atas.
“Yaudah kita suit.”
“Ap... Apa?” Alvin bertanya terbata-bata. Merasa dirinya mungkin saja salah dengar.
“Kita suit. S-u-i-t.” Ulang gadis itu dengan ekspresi kesal yang ditahan-tahan.
Alvin ingin sekali tertawa kalau tidak ingat ia sekarang ada dimana. Suit? Ia bahkan lupa kapan terakhir kali bermain batu, kertas, gunting. Gadis didepannya ini entah kenapa perpaduan antara keras kepala dan polos. Ah, mungkin konyol lebih tepat. Dengan kedua ujung bibir berkedut menahan tawa, Alvin menjawab,
KAMU SEDANG MEMBACA
One Piece of Heart
Novela JuvenilAda cinta disana. Ada debar rindu tak terbaca. Ada cemburu yang begitu saru. Ada kecewa bertalu-talu. Lalu luka menyesak dada. Bagiku kau candu, aku menginginkanmu. Bolehkah? Ada rasa berbeda, mengalun tanpa suara. Cintakah? Cinta. Hal yang dikecap...