Gadis dengan dress hitam selutut itu menghentikan langkahnya setelah berjalan kira-kira 500 meter. Ia menghempaskan tubuhnya di trotoar jalan sambil mengipas-ngipaskan tangannya di depan wajah. Jam baru menunjukkan pukul 06.45 tapi matahari sepertinya terlalu semangat bersinar hari ini. Ia merutuki kebodohannya sendiri, bagaimana bisa ia lupa membawa ponselnya. Kalau sudah begini, bagaimana caranya ia menghubungi Pak Amir? Bagaimana pula caranya ia harus pulang? Sejak tadi tak nampak satupun taksi yang lewat, membuatnya semakin mengerang frustasi.
Gadis itu mengedarkan pandangan ke sekitar. Sepi. Dimana pula sekarang dirinya? Ia sama sekali tidak tahu jalanan di kota ini. Ia menutup wajahnya dengan telapak tangan, merutuk dalam hati. Lo bego banget sih Via.
Via masih sibuk menyumpahi dirinya sendiri ketika didengarnya suara pintu mobil tertutup diikuti langkah kaki mendekat kearahnya. Ia membuka wajahnya, mendongak dan mendapati seraut wajah yang baru pertama kali ini dilihatnya.
Via menatap pemuda yang masih sibuk mengamatinya itu. Dan masih tak mengalihkan pandangan ketika pemuda itu balas menatapnya. Wajah didepannya ini, serupa pahatan malaikat. Nyaris tanpa cela, memabukkan. Dan sepasang bola mata dibalik lensa itu, melelehkan.
“Lo ngapain? Disini?” Suara bariton itu menyentakkan kembali kesadaran Via.
“Ehh.. eumm, lagi nunggu taksi.” Via tergeragap, menyadari ia secara terang-terangan mengamati pemuda didepannya.
Pemuda itu mengangkat sebelah alisnya, menatap Via heran. “Setau gue, ga pernah ada taksi lewat sini.”
Wajah Via makin nelangsa, “duhh gimana dong?” tanyanya nyaris seperti bisikan.
“Lo mau kemana?”
“Pulang..”
“Rumah lo?”
“Kompleks Permata Indah”
Hening. Pemuda itu nampak berpikir sesaat. “Gue anterin, mau?”
***
Alvin mengumpat dirinya sendiri dalam hati, begitu kalimat penawaran tadi meluncur dari bibirnya. Apa-apaan itu tadi? Kenapa dia harus merasa peduli pada gadis asing di depannya ini?
Ahh, sudah kepalang basah. Dilihatnya kembali sosok didepannya yang tiba-tiba saja memasang tatapan waspada."Lo siapa? Penjahat? Penguntit?" tuduh gadis itu.
Alvin menganga tak percaya. Gadis ini bodoh apa bagaimana? Apa penjahat bisa setampan dirinya? Iya sih, Alvin memang hampir selalu dalam mode "DISTURB ME AND ACCEPT YOUR OWN RISK", tapi Alvin yakin dirinya tak memiliki tampang penjahat sama sekali. Lalu, penguntit, apa pula ini? Memang gadis ini siapa? Anak Presiden, cucu Menteri? Dasar gadis aneh.
Alvin mendengus kesal, "Lo buta apa gimana? Lo pernah liat penjahat pake seragam sekolah?"
Gadis tadi mengamati Alvin dari atas ke bawah. Masih tak menghilangkan sikap waspada dan antipatinya. Ia mengetuk-ngetukkan jari telunjuknya ke dagu seperti sedang berpikir. Dan ketika sebuah ilham -yang entah darimana datangnya- merasuki pikirannya dengan tiba-tiba, gadis itu membelalakkan mata dan menggeleng-gelengkan kepala.
Alvin yang masih dongkol, semakin bingung melihat kelakuan gadis didepannya. Selain aneh, gadis ini ternyata juga gila.
"Lo gila ya?" tanya Alvin nyolot.Gadis itu menuding-nudingkan jarinya ke arah Alvin dan berseru galak. "Heh, gue tau sih lo lumayan ganteng. Tapi kalo lo punya masalah sama saudara gue, lo selesein baik-baik dong."
Alvin berkali-kali lipat makin bingung. Dahinya berkerut-kerut berusaha menangkap arah pembicaraan gadis ini. Masalah? Saudara? Cewek ini ngomong apa sih?
![](https://img.wattpad.com/cover/47044816-288-k780583.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
One Piece of Heart
Подростковая литератураAda cinta disana. Ada debar rindu tak terbaca. Ada cemburu yang begitu saru. Ada kecewa bertalu-talu. Lalu luka menyesak dada. Bagiku kau candu, aku menginginkanmu. Bolehkah? Ada rasa berbeda, mengalun tanpa suara. Cintakah? Cinta. Hal yang dikecap...