Another Hurt

2.1K 108 30
                                    

Mahesa baru saja menyelesaikan penjelasannya secara singkat ketika mendapati dua raut wajah di depannya berubah kaku. Bahkan kedua sosok itu tak sungkan menatapnya kecewa.

“Mahesa Akbar!” Rusman berujar datar dan dalam. Ia menggeleng-gelengkan kepala. Sarat kekecewaan.

“Kamu benar-benar keterlaluan Esa. Bagaimana bisa kamu menikah dengan perempuan ini?” kali ini Risma yang berujar lemah. Air matanya bahkan sudah meleleh.

Mahesa mendesah bersalah. Namun, seakan tak bisa membaca suasana, Mahesa malah mengenggam tangan Lidya, lalu menatap Mamanya.

“Dia juga manusia, Mama. Dan aku menyayanginya.”

Risma menggeleng geram lalu berkata tajam “Tahu apa kamu soal kasih sayang? Dengar Esa, kalau dia masih mau jadi istri kamu berarti dia harus siap di madu! Besok kamu harus ketemu Renata!”

“Mama!” Mahesa menghardik Mamanya, membuat Lidya mencengkram tangan pemuda itu.
“Nggak bisa gitu, Ma. Mama keterlaluan..”

“Kamu yang keterlaluan. Sudah berapa kali mama nyuruh kamu untuk meninggalkan perempuan ini!!!”

Mahesa beralih menatap papanya. “Pa, aku mohon. Tolong ngerti pilihanku. Lagian gadis yang akan kalian jodohkan pasti tidak akan bersedia jadi istri kedua.”

Sesaat Rusman terdiam. Janji yang pernah di ikrarnya dulu, tidak mungkin di ingkarinya begitu saja.

“Kata siapa Renata menolak? Asal kamu adil. Lagian, Renata dan perempuan itu tidak akan tinggal satu atap.” Risma menyahut tajam.

  
Rusman dilanda kebingungan, penat dengan perdebatan ini. Ia akhirnya angkat bicara. “Apapun itu, turuti kata Mamamu, Esa.”
 
Mahesa terperanjat tak percaya.

***

Mereka duduk di gazebo di halaman belakang kediaman mewah itu. Tepat di tengah halaman sebuah kolam kecil memantulkan cahaya emas bulan malam. Gabriel masih belum membuka mulutnya. Yang lain memilih untuk juga tetap diam. Memilih untuk sabar menunggu kapan pun Gabriel siap untuk berbicara. Cukup lama mereka duduk bersisian dalam diam. Di halaman belakang dengan suara binatang malam yang terdengar seperti senandung yang menenangkan. Penghalau untuk pekatnya galau yang kini ikut duduk bersama lima orang yang bersisian di gazebo. Sesaat kemudian Gabriel memulai ceritanya. Dengan helaan napas yang benar-benar berat dan panjang. Dengan tatap kedua mata yang tertuju lurus-lurus ke tengah kolam. Seakan-akan pemuda itu bercerita pada riak air kolam, dan bukan untuk beberapa nyawa yang duduk dekat di sebelah kiri dan kanannya.

“Bia itu bukan adik angkat gue. Dia adik sepupu kesayangan gue. Adiknya Ray. Adiknya Felish...” Kembali Gabriel terdiam. Kembali ditariknya napas panjang. Informasi ini mencengangkan untuk Alvin dan Cakka, bukan untuk Ray dan Rio.

“Ray, Felish, Bia mereka saudara beda ibu...” Gabriel menelan ludah. “Ada banyak hal yang nggak bisa gue bilang, yang nggak bisa Ray bilang. Hanya saja....” Gabriel berhenti berbicara, mengisi rongga dadanya dengan udara sejenak. “Mamanya Bia itu istri kedua. Karna satu dan lain hal, Felish benci banget sama Bia, apalagi semenjak tante Lidya –Mama si kembar- meninggal.”

Sekali lagi Gabriel terdiam. Kedua matanya yang masih tertuju pada riak air kolam itu perlahan meredup. Balutan pertamanya untuk seluruh luka-lukanya mulai terbuka. “Felish jadi makin emosional, jadi makin benci sama Bia dan Mama Rena. Menurutnya, Bia sama mama Rena yang nyebabin tante Lidya meninggal.”

Hening lagi. Gabriel kembali memejamkan kedua matanya. “Setahun setelah tante Lidya meninggal, Mama Rena juga..” suara berat Gabriel mengucap lirih. Ray menundukkan kepalanya dalam-dalam, sementara ketiga karibnya yang lain hanya diam tanpa interupsi. Untuk saat-saat seperti inilah seorang kawan dihadirkan.

One Piece of HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang