Little Revenge

2K 116 34
                                    

Pricilla berusaha menghirup oksigen sebanyak-banyaknya. Berusaha menetralkan darahnya yang serasa mendidih di kepala. Rasanya ingin sekali menerjang gadis yang nampak nyaman berada dalam dekapan Alvin. Tapi, ia berusaha menahan diri. Gadis itu masih bisa di urusnya nanti. Yang harus di selesaikannya saat ini adalah urusannya yang lain. Dengan pemuda yang kini bersamanya di lantai dansa.

“Yo..”

“Hmm...”

Pricilla menatap tepat pada manik mata Rio yang sejak tadi mendiamkannya.

“Lo kenapa?” tanya Pricilla.

Rio membalas tatapan Pricilla, bingung. “Apanya?”

“Lo jauhin gue..” jawab Pricilla to the point.

Rio mengernyitkan dahi. “Perasaan lo aja...”

“Nggak mungkin. Lo emang ngehindarin gue..” bantah Pricilla.

Rio tersenyum tapi tak mencapai matanya. “Emang kenapa gue harus ngehindarin lo?”

“Eh, itu....” Pricilla sama sekali tidak mempertimbangkan pertanyaan seperti ini.

“Kenapa?” desak Rio.

“Makanya itu gue nanya lo..” tukas Pricilla akhirnya.

Rio menyipitkan matanya. Mereka benar-benar berhenti berdansa dan hanya berhadap-hadapan sekarang. “Tapi gue ngerasa lo lebih kayak nuduh daripada nanya.”

“Lo kenapa sih? Pasti karna Bia, ya kan?” sentak Pricilla tajam.

“Tunggu.. tunggu. Apa hubungannya Via dengan semuanya?” tanya Rio tak paham.

Pricilla berdecak. Kesal karena sikap Rio yang entah benar tidak paham atau hanya pura-pura. “Lo ngehindarin gue karna dia kan?”

“Kenapa gue harus ngehindarin lo karna dia?” Ok, sepertinya Rio memang benar-benar gagal paham.

“Lo suka sama dia makanya lo jauhin gue.” Intonasi Pricilla kian meninggi. Pandangannya memancang Rio lurus-lurus.

Hah?

Rio tercengang sesaat. Sebelum kemudian menggeleng-gelengkan kepala dan tersenyum miris. Tentu saja, reaksi yang diberikan Rio malah semakin menyulut emosi Pricilla. Terima kasih pada lagu-lagu dansa yang mengaburkan suara mereka.

“Bener kan? Pasti Bia yang nyuruh lo jauhin gue!” tuduh Pricilla tanpa ampun.

Rio meredakan tawa mirisnya demi mendengar tuduhan Pricilla yang tidak masuk akal. Wajah yang biasa tenang itu, kini nampak kaku. Meredam seribu satu gejolak emosi.

“Kenapa emang kalo gue suka sama Via?” tanya Rio telak.

Pricilla ternganga. Masih belum tau harus merespons seperti apa. Bahkan gemuruh dalam dadanya terdengar tanpa harus di suarakan.  “Lo-“

“Dan kenapa kalo emang Via yang minta gue buat jauhin lo?” tukas Rio tajam. Sejujurnya Rio hanya sudah terlalu lelah untuk memahami Pricilla. Maka di amini nya apa saja yang bersarang di kepala gadis itu. Semata untuk menutupi lukanya sendiri yang semakin dalam. Atau sesungguhnya Ia mengharapkan ekspresi lain dari gadis itu? Cemburu misalnya.

“Lo nggak pernah bilang kalau lo suka sama dia.” Pricilla mendengar suaranya sendiri yang bergetar. Pengakuan Rio secara tidak langsung tadi seolah menambah satu lagi deret lukanya. Membuatnya merasa terinjak lagi egonya untuk satu orang yang telah di anggap miliknya dan dengan mudahnya bersiap meninggalkannya. Tapi, hak milik atas dasar apa?

Rio mendengus. “Apa gue punya kewajiban buat bilang ke lo apapun yang gue rasain?” tanyanya sarkatis.

Pricilla mengerjapkan matanya yang terasa panas. Rio adalah satu-satunya orang yang selalu ada untuknya, menghiburnya, mengerti semua tentang dirinya. Tapi Rio yang sekarang di depannya ini.... ini bukan Rio yang biasanya. Dia seperti mendengar sendiri reruntuhan hatinya jauh di dasar sana. Lebur, berserakan. Namun, mungkin Tuhan belum ingin campur tangan membuka mata hatinya. Karena Ia masih juga tak bisa meraba perasaannya. Justru kebencian kini yang mendesak ingin di keluarkan. Pada satu sosok yang lagi-lagi memberinya sayatan.

One Piece of HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang