Semalaman, Sivia tak bisa tidur, terus terbangun dengan bersimbah keringat. Wajah marah Pricilla, raut Rio yang kecewa dan tatapan Alvin yang tak terbaca saat kejadian sebulan yang lalu semuanya muncul silih berganti dalam sebentuk mimpi putus sambung yang sulit di pahami maknanya.
Satu bulan berlalu sejak kejadian di Kafetaria itu. Semenjak itu pula, Ia dan Alvin tak lagi bertegur sapa. Bahkan, Alvin membuang muka begitu melihatnya. Bersikap seolah-olah Ia tak ada walau terkadang Ia tepat berada di depannya.
Sivia pun tak mau bersusah payah mengajak Alvin bicara. Ia merasa tak salah. Toh, ia mengatakan isi kepalanya sendiri, tidak salah bukan?
Sivia menghela napas. Memang tidak salah. Yang salah adalah perasaannya yang menjadi kacau dan hatinya yang tidak tenang pasca peristiwa itu. Kenapa? Bahkan Ia sendiri tak tau jawabannya. Satu pertanyaan itu bergaung di kepalanya tanpa jawaban.
Dan pada akhirnya, Sivia pun berhenti mencari jawaban. Kelelahan dengan sederet perasaan membingungkan. Sedangkan satu sisi ego menyerang kesadaran bahwa peristiwa itu bukan salahnya. Bukan salahnya.
Kejutan lain yang urung di lewatkan inderanya meski enggan adalah Alvin yang kian dekat dengan Pricilla. Ya, walaupun pendekatan-pendekatan kecil selalu digencarkan secara sepihak oleh Pricilla. Toh Alvin tampak oke-oke saja. Jadilah, sering kali pemandangan Alvin berdua dengan Pricilla di Kafetaria, Koridor Sekolah, Lapangan basket, dimana saja di sudut Ursala merupakan hal biasa. Tak banyak orang bertanya, menurut mereka, Pricilla dan Alvin cocok cocok saja.
Meski enggan mengakui, namun sejujurnya itu adalah sekian dari banyak faktor yang mengakibatkan perang dingin itu tak berkesudahan. Alvin yang menganggapnya tak kasat mata membuatnya keki. Ada aura penolakan yang begitu kental terpancar dari pemuda itu. Maka, dengan bijaksana Ia berusaha menghindari kontak langsung dengan Alvin. Lumayan sulit, karena Alvin juga selalu ada di tempat yang dimana Gabriel Cs berada.
Bicara tentang Gabriel Cs, Sivia merasa sedikit lega. Walaupun tau Gabriel, Ray, serta teman-teman perempuannya -Shilla, Ify, febby- seringkali berganti-ganti menatapi mereka -Sivia, Rio, Alvin, Pricilla- dengan aneh, tapi tak ada satupun dari mereka yang bertanya. Pengecualian untuk Cakka, karena pemuda itu juga berada di TKP saat peristiwa itu terjadi. Awalnya, Sivia agak cemas dengan kemungkinan Ray dan Gabriel akan memaksanya bercerita. Tapi hingga satu bulan terlewati mereka hanya bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. Mungkin mereka memang tidak ingin tau. Mungkin Cakka sudah lebih dulu memberitau mereka. Mungkin saja.
Sivia menghembuskan napas. Ternyata merasa kepayahan juga dengan kejadian akhir-akhir ini. Ia membuang pandangan ke luar jendela mobil. Di lihatnya sepasang muda-mudi seusianya yang sedang bercengkerama di bangku halte. Tertawa lepas, begitu menikmati waktu. Tanpa sadar membuat Sivia berdecak. Melihat orang berpacaran di saat suasana hatimu sendiri sedang buruk bukanlah pilihan yang bagus.
"Lo kenapa sih, ngelamun aja.." tegur Gabriel di balik kemudi. Jenuh juga di acuhkan adiknya sendiri sepanjang perjalanan ke Sekolah.
Sivia menoleh, menatap tepat ke wajah Gabriel. "Nggak pa-pa kok. Orang gue nggak nglamun.."
Gabriel berdecak. "Ck. Mikirin Alvin ya?" tembaknya langsung?
"Hah?"
"Lo mikirin Alvin?" ulang Gabriel sabar.
"Nggak." Kilah Sivia.
"Keliatan kok." Ucap Gabriel
Sivia mencibir. "Nggak usah ngaco.."
Gabriel mengangkat bahu. "Orang Alvin juga mikirin lo terus." Ujarnya.
"Hah? Nggak usah ngaco."
KAMU SEDANG MEMBACA
One Piece of Heart
Novela JuvenilAda cinta disana. Ada debar rindu tak terbaca. Ada cemburu yang begitu saru. Ada kecewa bertalu-talu. Lalu luka menyesak dada. Bagiku kau candu, aku menginginkanmu. Bolehkah? Ada rasa berbeda, mengalun tanpa suara. Cintakah? Cinta. Hal yang dikecap...