Annisa "Mungkin ini bisa jadi awal yang baik untuk bisa bersamanya lagi."
Nisa keluar dari ruangan Hasan setelah berpamitan. Hasan menghela nafas di kursinya dan meminggirkan berkas-berkas di mejanya dengan rapi lalu mulai membuka laptopnya. Dia mulai mengerjakan sesuatu dengan laptop hitamnya. Hingga beberapa menit dia masih terlihat konsentrasi dengan benda hitam datar di depannya itu. Namun setelah itu, gerakan tangannya mulai melambat dan berhenti. Matanya masih tertuju pada benda hitam di depannya itu, tapi pandangannya kosong.
Dia mengusap wajahnya frustasi. Menghela nafas berat. Menghempaskan badannya pada sandaran kursi hitamnya. Dia memejamkan matanya dengan kepala menengadah. "Kenapa wajah gadis ceroboh itu selalu muncul? Sejak melihatnya di dekat parkiran waktu itu dia selalu saja menggangguku. Matanya, senyumnya, ekspresinya saat kesal, saat malu, saat makan tadi malam." tanpa sadar Hasan mulai tersenyum membayangkan beberapa ekspresi wajah Nisa.
Senyumannya seketika memudar saat ingan wajah yang baru saja meninggalkannya. "Dia tadi terlihat sedih. Tapi apa penyebabnya? Aku tidak suka melihat dia seperti itu. Aku harus cari tahu apa yang membuatnya sedih hingga menangis."
Hasan langsung beranjak keluar dari ruangannya. Begitu menutup pintu ruangannya, terdengar suara Rina memanggilnya, "Pak Hasan." sontak Hasan lalu menoleh ke arah Rina yang berdiri dari kursinya. "Kebetulan Bapak keluar. Baru saja Pak Roni telfon. Bapak diminta menghadap beliau ke ruangannya sekarang."
Hasan menghela nafas dengan kasar. Kesal. "Baiklah."
Roni adalah nama Presdir sekaligus pemilik perusahaan ini. Mau tidak mau dia harus menghadap Presdirnya jika sang Presdir sendiri yang memintanya. Dia sangat menghormati Presdirnya, yang telah menyelamatkan dia dari keadaan yang sangat buruk dalam hidupnya hingga dia dapat bertahan hidup dengan posisi yang cukup tinggi di perusahaan ini.
***
Di ruangan Presdir yang didominasi warna putih, hitam dan abu-abu ini, Hasan duduk di sofa single putih dengan selembar kertas di tangannya. Dia membaca dengan serius tulisan pada kertas yang dipegangnya.
Sementara di sofa panjang, duduklah seorang pria berkharisma, dengan rahang yang kokoh dan wajah yang tampan, sedikit mirip dengannya dan beberapa tahun lebih tua darinya. Dialah sang Presdir, Khoironi Wiranata.
"Robot seperti ini memang belum pernah ada di pasaran. Hanya toko mainan tertentu yang pernah menjual produk seperti ini dengan pemesanan sebelumnya." Hasan mulai mengeluarkan pendapatnya dengan suara santai sambil meletakkan kertas yang tadi dipegangnya ke atas meja. "Lagipula menurut saya harganya terlalu mahal untuk kalangan ekonomi menengah ke bawah. Mengapa Anda tidak memberitahu saya waktu akan memproduksi robot dengan teknologi canggih seperti ini. Saya pikir kita hanya memproduksi robot seperti bulan-bulan yang lalu."
Roni menghela nafas perlahan, "Waktu itu kamu sedang kollaps. Jadi saya hanya meminta pendapat Ferdinant, Pak Husni dan yang lain."
"Ya. Itu kan cuma dua hari. Harusnya kalian langsung memberitahuku setelah aku pulih." protes Hasan.
"Kamu sekarang sedang bicara dengan Presdirmu." ucap Roni mengingatkan.
"Ayolah... Kita hanya berdua di sini. Aku benci bersikap formal padamu."
"Kamu sedang bicara dengan orang yang lebih tua darimu." ingat Roni lagi.
Hasan menghembuskan nafas frustasinya. "Oh God!" Hasan beranjak dari sofanya dan duduk di samping Roni. Dia menepuk pelan pundak Roni sambil berkata, "Kita akan mencari solusinya nanti. Aku masih ada keperluan. Nanti kita bicarakan lagi. I love you, Kak. Mmuach!" Hasan baru saja mencium pipi Presdir yang tak lain adalah kakak kandungnya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Girl between Boys (END)
Teen FictionAnnisa Rahma Al Azhar bertemu kembali dengan kekasihnya setelah sekian tahun berpisah tanpa ada kata perpisahan. Akankah dia bisa bersatu kembali dengan kekasihnya yang kini sama sekali tidak ingat padanya. Sementara kakaknya, Rizal Khalif Al Azhar...