Enjoy
###
"Pak Roni mengundur jadwal meetingnya jadi jam dua siang." ucap Rina yang sedang berdiri di depan meja kerja Hasan. Pria itu sudah kembali menekuni pekerjaannya yang sempat ia tinggalkan hampir satu bulan.
Ia menikmati hari libur di rumah kedua orang tuanya dengan perasaan yang berbeda. Widya dan Danu hampir tidak pernah berhenti bersyukur atas kesembuhan putra bungsunya. Akhirnya mereka bisa melihat putra mereka tertawa lepas seperti beberapa tahun yang lalu. Tawa yang tidak pernah mereka lihat setelah kecelakaan itu terjadi pada putra mereka.
Sesekali Roni juga mengajak istri dan anaknya liburan ke rumah orang tuanya sekalian mengajak Hasan kembali ke rumahnya sekaligus membantu pekerjaannya di perusahaan yang ia rasa cukup berat jika tidak ada adiknya di sana. Namun Hasan menolak ajakan kakaknya karena masih ingin berlibur, menikmati kebersamaannya dengan kedua orang tuanya yang jarang ia rasakan karena sibuk dengan pekerjaannya.
"Kenapa ditunda? Bukankah dia sendiri yang menentukan jadwal meetingnya sejak dua hari yang lalu?" tanya Hasan heran.
"Saya sendiri kurang tahu, Pak" jawab Rina. "Saat saya bertanya, beliau tidak memberikan alasannya. Tapi beliau berpesan agar Bapak tidak meninggalkan kantor sebelum meeting."
"Memangnya aku mau ke mana." gerutunya pelan yang masih bisa didengar oleh Rina. "Ya sudah. Kamu boleh melanjutkan pekerjaanmu. Terima kasih atas informasinya."
"Sama-sama, Pak. Itu sudah kewajiban saya. Saya permisi."
Hasan kembali sibuk berkutat dengan laptopnya. Ia terlihat serius dengan pekerjaannya hingga tidak menyadari jam istirahat sudah tiba dan ia tetap sibuk mengetik dan mengecek pekerjaannya.
"Pak Hasan." suara Rina dari intercom. "Bu Alya ingin menemui Bapak."
Hasan tampak berpikir sejenak lalu tersenyum lebar. "Suruh langsung masuk saja"
Pria itu langsung bangkit dari tempat duduknya berjalan melewati meja kerjanya menuju pintu yang kemudian terbuka dari luar. Alya masuk perlahan tanpa menutup pintu dan disambut pelukan hangat oleh Hasan. "Apa kabar, Kak?"
Alya melepas pelukannya sambil tersenyum simpul. "Alhamdulillah, baik. Kamu sendiri bagaimana?"
"Kakak lihat sendiri, aku baik-baik saja. Ayo duduk dulu." Hasan merentangkan tangannya mengajak Alya berjalan menuju sofa panjang di ruangannya.
"Kamu tidak memberi kabar sama sekali padaku beberapa bulan ini." kata Alya sambil duduk di sofa panjang yang disusul Hasan duduk di sampingnya. "Apa kamu sibuk sekali?"
"Sebenarnya tidak." jawab Hasan enggan.
"Apa kamu takut aku akan memaksamu untuk memaafkan Aris?"
Degh!
Hasan merasa dadanya bergemuruh saat mendengar nama itu disebut. Ia mencoba untuk tetap tenang di hadapan gadis yang berumur dua tahun lebih tua darinya. "Bukannya aku takut, Kak. Tapi aku merasa hanya belum siap saja."
"Sampai kapan pun kamu akan tetap tidak siap jika tidak mau mencoba. Kamu belum mencoba untuk bicara langsung dengannya setelah pertemuan kalian tempo hari." gadis itu mempunyai harapan besar agar pria yang duduk di sampingnya dapat segera memaafkan kekasihnya, orang yang telah merebut hatinya dengan segala kekurangannya. Ia tidak ingin pria yang sudah bertunangan dengannya selalu tersiksa dengan rasa bersalahnya.
Dalam keadaan lain, ia tidak ingin kekasihnya terus mengganggunya saat ia bekerja. Aris tidak mengenal waktu untuk menghubunginya jika rasa bersalah itu datang mengganggunya. Pria itu hanya akan tenang saat bekerja. Jika jam istirahat datang atau saat tidak ada pekerjaan, ia akan kebingungan dan jalan satu-satunya untuk mengatasinya adalah bicara dengan pskiater pribadinya, Alya. Ia baru akan mengakhiri panggilannya jika sudah merasa tenang, tidak perduli Alya sedang bekerja atau tidak. Bahkan saat bangun tengah malam pun ia akan menghubungi Alya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Girl between Boys (END)
Teen FictionAnnisa Rahma Al Azhar bertemu kembali dengan kekasihnya setelah sekian tahun berpisah tanpa ada kata perpisahan. Akankah dia bisa bersatu kembali dengan kekasihnya yang kini sama sekali tidak ingat padanya. Sementara kakaknya, Rizal Khalif Al Azhar...