Matahari kembali keperaduannya, rembulan kembali kepersembunyiannya, langit biru yang menghiasi langit New York sangat tepat untuk menemani aktivitas pagi ini.
Randy dan Ralina menyiapkan sarapan di kediaman keluarga kecil Lucas.
Ralina mengelap sendok dan garpu, lalu Randy meletakan piring-piring disetiap bangku.
"Pagi" seru Rafael yang baru saja mendatangi ruang makan.
"Pagi ayah" jawab Randy tersenyum.
"Bagaimana tidurmu?" Rafael mengecup kening anaknya.
"Nyenyak, yah"
"Dimana Queenzy?"
"Masih di kamar"
"Biar aku yang memanggilnya" ujar Ny.Lucas mulai melangkah menjauh.
Merasa ada atmosfer yang aneh, ini tidak seperti biasanya, menurut Randy. Sesuatu terjadi antara ayah dan neneknya. Dia tidak ingin ikut campur.
"Nek, biar Randy saja" tahannya, dia menuju kamar untuk memanggil sang adik.
Mau tidak mau Ralina kembali. Untuk saat ini sebenarnya dia malas bertemu anaknya karna perseteruan tadi malam.
Ralina duduk di kursi meja makan, dia menuangkan susu ke gelas kedua cucunya.
Rafael hanya menatap kikuk pada sang ibu, ini yang dia tidak suka. Ibunya akan diam ketika mereka berseteru.
"Bu" panggil Rafael lembut. Dia bosan berdiam-diaman dengan sang ibu. Dia rindu disaat ibunya bersikap cerewet atau memanjakannya.
Tak ada tanggapan.
"Ibu, a aku minta ma..."
"Makanlah" titah Ralina.
Mau tidak mau dia mengikuti ucapan sang ibu, dia duduk tepat di depan ibunya.
"Pagi" seru Queenzy yang sudah cantik dengan kuncir kepangnya.
"Pagi, wah cucu nenek cantik sekali" ujar Ralina sembari mengangkat tubuh Queenzy ke kursi di sampingnya.
Queenzy tersenyum manis.
Ralina meletakan salad salmon ke piring Queenzy "cucu nenek harus makan yang banyak"
"Siap" jawab Queenzy lucu.
Rafael menatap kedua malaikat cantiknya. Beberapa tahun lalu, yang diperlakukan seperti itu adalah dirinya dan sekarang adalah anaknya.
Waktu berjalan begitu cepat, dia sudah dewasa bahkan sudah punya anak. Dia rindu masa kecilnya, masa dimana mereka menghabiskan waktu hanya berdua, dimanjakan dan melakukan apapun bersama.
Hanya karena khayalan masa lalunya Rafael tersenyum sendiri.
"Ayah?" Panggil Randy.
Rafael hanya terdiam. "Ayah" panggilnya lagi dengan sedikit keras.
"Ah iya?" Rafael gelagapan.
"Ayah kenapa senyum-senyum sendiri?"
"Iya ayah seperti orang gila tersenyum seperti itu, hiiii" tambah Queenzy.
Ralina menatap anaknya, dia juga ingin tertawa melihat anaknya yang tersenyum sendiri seperti itu, tetapi gengsinya lebih besar daripada rasa ingin tawa.
"Setampan ayah masa orang gila" jawabnya dengan percaya diri.
"Ih ayah terlalu percaya diri" Queenzy tidak suka jika ayahnya sudah membanggakan diri sendiri.
Randy tertawa, Ralina pun sedikit menyunggingkan senyum. Rafael berhasil meruntuhkan sedikit sifat gengsi ibunya.
"Sudah pada makan" titah Ny.Lucas.
Mereka sudah selesai sarapan dan akan berangkat.
"Ayo Randy Queenzy, sudah siang" Rafael membenarkan dasinya, dia sudah siap.
"Iya ayah" teriak Randy sembari menggemblok tasnya.
Ralina menghampiri Rafael "aku yang akan mengantar mereka, kau pergi saja lebih dulu"
Ibunya mulai lagi, air muka ibunya masih mengeras, sepertinya Ny.Lucas masih marah pada Rafael, ck memang susah menghadapi wanita cantik yang sedang marah.
Mau tidak mau Rafael harus mengikuti kata-kata ibunya lagi, daripada ibunya semakin marah padanya.
Rafael mengangguk "a aku pergi, bu",Rafael menghampiri ibunya, tapi dengan begitu saja Ralina melengos pergi.
Rafael hanya dapat menghela nafas dan bersabar dengan sifat ibunya. Dia juga yakin bahwa sifat buruk miliknya memang turun dari sang ibu.
"Ayah pergi" teriak Rafael ke luar rumah.
Randy baru saja akan menghampiri ayahnya, tapi ayahnya sudah masuk ke dalam mobil dan melaju.
"Kenapa ayah pergi?" Tanya Randy bingung.
"Nenek yang akan mengantarmu dan Queenzy" gumam Ny.Lucas setelahnya dia kembali masuk ke kamar tamu rumah anaknya.
Randy menoleh dan mengangguk pelan "baik nek"
Sepertinya benar-benar ada masalah yang rumit antara ayahnya dan neneknya.
Dia menggelengkan kepala mencoba tidak memikirkan apa yang sedang terjadi.
---
Jessie masih setia di depan cermin, dia sedang menyisir rambutnya.
Dia mulai mengikat rambut dan tersenyum depan kaca.
Namun seketika senyumnya menghilang ketika dia mengingat sesuatu. Jessie ingat kata-kata Antolin tadi malam.
'hal yang aku tidak suka adalah melihatmu menguncir rambut'.
Jessie segera melepas ikatan rambutnya dan menyisir lagi.
"Cantik" gumamnya tersenyum.
Lalu ia bergegas keluar apartemen.
---
Beverlly baru saja keluar dari kamar mandi, dia mengusak rambutnya dengan handuk kecil.
Ponselnya berbunyi, dia mengambil dan melihat layar ponselnya.
'No Name Calling'.
"Sial,dia lagi" gerutunya.
Beverlly menggeser tombol hijau lalu meletakkan di telinga kirinya.
'Hi, Sayang'
"Mau apa lagi?" Tanya Beverlly ketus.
'Sabar Sayang, aku merindukanmu'
Beverlly hanya diam, sebenarnya dia malas menanggapi lelaki yang berstatus sebagai mantan kekasihnya.
'Sedari kemarin aku tidak bisa menghubungi'
"Jangan bertele-tele, ada apa?"
'Aku merindukanmu, mari kita bertemu'
"Sekalipun kau memohon aku tidak akan sudi bertemu denganmu lagi"
Beverlly segera memutuskan pembicaran. Dilempar iPhone berkondom bentuk hello kittу ke atas kasur.
"Sial, pagi-pagi membuatku kesal" Beverlly membanting tubuhnya ke atas kursi riasnya.
"Lebih baik aku bertemu dengan Rafael" ujarnya dengan tersenyum senang.
---
Seperti biasa, Jessie harus jalan ke halte bis terdekat dari apartemennya.
Dengan santai dia melangkah sembari mendengarkan musik dari headphone yang menjepit kedua telinganya.
Dia menikmati lagu yang sedang ia dengarkan, lagu With you yang dipopulerkan oleh Chris Brown cukup menenangkan.
Setiap dentuman nada yang tercipta diikutinya dengan menganggukkan kepala secara berirama.
Namun, keasyikannya tak bertahan lama. Sebelum dapat mencapai halte bis, sebuah mobil menghentikan langkahnya.
Jessie sendiri bingung kenapa mobil itu terus mengikutinya, sampai pada saat sang empu mobil membuka jendela mobilnya, barulah dia menyadari seseorang yang ada di dalam mobil itu.
"Jes, ayo pergi bersamaku"
KAMU SEDANG MEMBACA
Dr. & Me [COMPLETED]
Romance[NEW YORK] // [BOOK] Ketika rasa yang dulu hanya kontrak telah berubah menjadi sesungguhnya. Benar apa katanya, Cinta memang butuh adaptasi baru bisa tumbuh menjadi saling berbagi.