Hari ini terasa begitu panjang untuk dua sejoli yang masih berduaan. Di sini, di taman pinggir jalan, Antolin dan Jessie sedang menikmati es krim sembari jalan menikmati pemandangan jalanan Manhattan yang masih saja ramai diwaktu semalam ini.
"Jes, bagaimana kalau kita bermain?" Seru Antolin menghilangkan kesunyian antara mereka berdua.
Jessie menoleh sembari menjilat ice cream cone miliknya yang masih banyak. "Permainan apa, dok?"
"Sebelumnya jangan panggil aku dok, panggil namaku"
Jessie terdiam "ba baiklah, dok oh Antolin" Jessie sedikit risih dengan panggilan baru.
"Pintar" senyum Antolin.
'Ya Tuhan, aku merasa seperti es krim ini, aku akan meleleh!' Teriak Jessie dalam hati.
"Jadi aku akan memberi pertanyaan, lalu kau harus menjawabnya, setelah itu aku yang jawab dan setelahnya kau yang bertanya aku yang menjawab lalu dirimu, mengerti?" Jelas Antolin yang diangguki Jessie sebagai tanda paham.
"Baiklah, aku dulu. Hmm, siapa nama aslimu?" Tanya Antolin.
"Jessie Allison" jawab Jessie.
"Margamu?".
"Hmm, Scharell, kau?"
"Antolin Ryan Raynold"
Jessie mengambil duduk disalah satu bangku taman, diikuti Antolin di sampingnya "dari mana asalmu?"
"Toronto, Canada"
"Wow. Kukira kau orang New York. Aku dari Diamond Bar, California"
"Dugaanmu salah, haha" tawanya yang terlihat semakin tampan bagi Jessie. "Tanggal lahirmu?"
"14 Juni"
"13 Juni, wow beda sehari"
"Jika tahu seperti itu, kita rayakan bersama" gelak Jessie. "Umurmu?"
"37 tahun"
"Ck, ternyata kau sudah tua, aku 25"
"Kau yang kemudaan, haha. Idola?"
"Hmm, pria atau wanita?"
"Dua-duanya"
"Pria aku suka Robert Pattionson kalau wanita aku suka Angelina Jolie"
"Aku suka Brian Mcknight dan Nicki Minaj"
"Aku tidak menyangka kau suka yang eksotis, haha"
"Bagiku wanita eksotis itu lebih menarik"
"Ya ya ya, apa aku seperti itu? Hmm apa ya, apa yang kau tidak suka?" Jessie menjilat es krimnya untuk kesekian kalinya, es krimnya sudah setengah.
"Ku rasa iya" jawab Antolin, dia membenarkan duduknya menghadap Jessie, ditatapnya wanita yang hanya bekerja sebagai penjaga kantin "hal yang aku tidak suka adalah melihatmu menguncir rambut" tangannya terulur menarik ikatan rambut yang lolos dengan gampangnya dari rambut berkilau Jessie.
Jessie terdiam melihat perlakuan Antolin, ini di luar dugaan. Antolin menyukainya, kika dia menggerai rambut? Jessie harap seperti itu, menyukai dengan arti yang sangat dalam bukan hanya sekedar suka tapi...ah sudahlah Jessie bahkan tidak kuat untuk membayangkannya.
"Bagaimana denganmu? Apa yang kau tidak suka?" Tanya Antolin yang berasa tidak ditanggapi.
Jessie tersenyum "aku tidak menyukai...hmm, kacamata ini ada di matamu" Jessie mengulurkan tangannya untuk mengambil kacamata Antolin yang tersemat di hidung bangir dokter tampan itu, dia memberikan es krimnya pada Antolin. "Dan mungkin sedikit poni mu" kembali si penjaga kasir dengan tidak sopan mengacak poni dokter itu sehingga membuatnya terlihat lebih tampan. "Ini keren" lanjutnya.
"Oh tidak, aku butuh kacamataku" mata Antolin memang benar minus, itu kacamata asli bukan untuk bergaya.
"Sebentar, aku punya kontak lensa" Jessie merogoh tasnya dan mengambil tempat kecil berbentuk dua bulatan, ia mengambil lensa berwarna coklat sebelah kanan yang sangat cocok di mata Antolin yang juga berwarna coklat.
Jessie memakaikannya kepada dua mata Antolin dan meneteskan air lensa pada mata Antolin.
Lelaki itu mengedipkan kedua matanya. Ini sangat aneh rasanya, seperti ada yang mengganjal di mata. Mungkin karena baru pertama kali memakainya, "seperti ada yang mengganjal" serunya.
"Jika sudah terbiasa ini akan biasa saja, ini gratis untukmu" Jessie memberikan tempat lensa dan botol air lensa pada Antolin dan kembali mengambil eskrim miliknya.
"Apa kau bisa melihat dengan jelas?"
Antolin mengangguk "lumayanlah walaupun belum terbiasa, bagaimana, apa aku tampan seperti ini?"
Jessie tersenyum, ingin rasanya dia menjawab iya "biasa saja" tapi dia terlalu gengsi.
"Haha, benarkah? Baiklah, lanjut. BFF?"
"Best Friend Forever?"
Antolin mengangguk.
"Stephanie Arlin Rubbs"
"Rafael Darryn Lucas"
"Sudah kuduga" Jessie memakan cone eskrimnya. "Bagaimana kau bisa berkenalan dengannya?"
Antolin membuang cone eskrimnya yang tersisa dan mengelap tangannya yang lengket "dia teman kuliahku dulu"
"Wow, sudah lama berarti?"
Antolin mengangguk "ya seperti itulah, tapi setelah kita lulus, kami sempat berpisah. Dia bekerja di Departemen bedah pusat, sedangkan aku di rumah sakit"
Jessie mengangguk-angguk mengerti "tapi dia kerja di rumah sakit sekarang?"
"Ya, dia di rekomendasikan ke rumah sakit sekitar sebulan lalu"
"Pantas saja aku baru melihatnya. Ishh, aku jadi benci jika harus mengingat awal kami bertemu"
"Haha, kau hampir ditabraknya karena kau bermain gadget di tengah jalan" kata Antolin diselingi tawa.
Jessie memasang muka kesal "sudah jangan dibahas lagi, itu sangat menyebalkan"
"Haha, baiklah" Antolin berusaha menahan tawanya. "Bagaimana kau bisa berkenalan dengan dr.Rubbs?"
"Dia teman kuliahku juga"
"Kau kuliah di mana? Jurusan apa?" Tanya Antolin antusias.
"Di Pennsylvania University jurusan khusus Bedah Anak"
"Wow kau dokter juga?" Tanya Antolin tercengang.
"Bukan, aku keluar ketika semester lima"
"Kenapa?"
Jessie menghela nafas "hmm masalah ekonomi" dia tersenyum untuk meyakinkan bahwa dia baik-baik saja.
"Ah sayang sekali. Aku yakin kau bisa menjadi dokter hebat. Kau sudah praktik bedah?" Tanya Antolin.
"Tentu, ketika itu aku magang di departemen anak" Jessie menerawang mengenang kembali disaat dia bekerja sementara di Departemen anak dan bermain bersama anak-anak.
"Oh, kau pasti merindukan saat bersama anak-anak itu?"
Jessie mengangguk, dia menghela nafas. Diliriknya jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kanan "dok, sudah malam. Sebaiknya kita pulang"
Antolin melirik Jessie, ia kembali menikmati ramainya jalanan Manhattan "tidak sebelum kau memanggilku Antolin"
Jessie tertawa "ya Tuhan, baiklah Antolin" panggilnya diiringi senyuman lebar.
"Pintar. Ayo kita pulang"
"Kan tadi aku yang mengajak"
"Sekarang aku yang mengajak"
"Ish"
"Haha"

KAMU SEDANG MEMBACA
Dr. & Me [COMPLETED]
Romance[NEW YORK] // [BOOK] Ketika rasa yang dulu hanya kontrak telah berubah menjadi sesungguhnya. Benar apa katanya, Cinta memang butuh adaptasi baru bisa tumbuh menjadi saling berbagi.