"Jes, ayo pergi bersamaku"
Jessie kaget melihat lelaki di dalam mobil itu. Lelaki yang tadi malam mengantarnya.
Dia terpatung melihat lelaki itu.
"Ayo cepat naik" ajaknya lagi.
Suara itu mengintrupsinya untuk bergerak dan naik mobil. Dia duduk di kursi penumpang depan.
Antolin, sang empu mobil melajukan mobilnya. Dia tersenyum melihat si penjaga kasir yang kini duduk di sampingnya.
"Ehem" Antolin mencairkan atmosfer dingin yang selalu tercipta jika mereka berdua.
"Kau biasa berangkat jam segini?" Tanya Antolin.
Jessie mengangguk, dia sedang membereskan headphone yang tadi dia pakai.
"Bagaimana dengamu, dok?" Tanya Jessie balik.
"Antolin"
"A ah iya Antolin" ulang Jessie, jujur saja dia masih kikuk untuk memanggil Antolin dengan sebutan nama saja tanpa embel-embel dokter.
Antolin tersenyum mendengarnya "hmm, sebenarnya aku biasa berangkat sekitar jam 6.00 am"
"Lalu kenapa kau berangkat jam segini?" Tanya Jessie.
"Karena aku ingin menjemputmu"
Bagaikan petasan, hatinya meledak-ledak mendengar ucapan lelaki tampan di sampingnya.
'Ya Tuhan, jangan biarkan dia melihat wajah maluku' doanya.
Antolin mencuri pandang ke arah Jessie. "Kau tidak apa-apa?"
Jessie mengangguk.
"Tapi pipi mu merah?"
"A ah ti tidak apa-apa, dok eh Antolin"
Sungguh dia sangat malu saat ini, tapi bersyukurlah sebentar lagi sampai. Mobil Antolin sudah memasuki area rumah sakit dan masuk ke tempat parkiran khusus karyawan rumah sakit.
"A aku duluan ya" Jessie buru-buru membuka pintu dan mengangkat badannya untuk keluar mobil, tetapi dia lupa seltbelt-nya masih menyilang di tubuhnya.
Tambah satu beban malu yang harus kau tanggung, Jessie Allison.
Antolin tersenyum melihatnya, dia membantu membukakan seltbelt.
"A ah, aku duluan" Jessie segera turun dari mobil, dia berjalan dengan cepat sampai tidak melihat mobil yg berjalan dari arah kanan.
"Jessie awas!" Teriak Antolin yang segera menarik Jessie. Mobil tersebut terus melaju sembari mengklakson mobilnya.
Mereka masih terdiam diposisi masing-masing. Jessie di dalam pelukan Antolin. Posisi yang menguntungkan mungkin bagi Jessie atau malah merugikan?
Mereka terdiam saling menatap satu sama lain, mata hitam Jessie bertemu dengan mata coklat berlensa milik Antolin.
Tinnn Tinn
Sebuah mobil hitam membunyikan klakson yang diperuntukan untuk Antolin dan Jessie.
Mereka menoleh ke arah sumber suara.
"Hey jangan berpacaran di tengah jalan, minggir!" Teriak sang empu mobil.
Antolin tersenyum miring, dia menarik Jessie untuk minggir.
Mobil tersebut memilih tempat parkiran dua mobil sebelah kanan dari mobil Antolin.
"Kalian ingin seperti Romeo Juliet? Mati bersama?" Tanya lelaki yang bergelar Doctor jurusan ahli bedah.
Antolin hanya menanggapinya dengan senyuman, bahkan Jessie hanya fiam. Dia malu, sangat malu.
Ini diluar pemikirannya, semua terjadi begitu saja. Jujur dia senang bisa dekat dengan pujaan hatinya, tapi dia juga malu diwaktu yang bersamaan.
"A ah kalau begitu aku duluan, permisi" pamit Jessie tanpa menatap kedua lelaki tersebut dan berlalu begitu saja.
Lelaki yang memiliki nama Rafael Darryn mengancingkan lengan kemeja "dia kenapa?"
Antolin hanya menggidik bahunya menatap punggung Jessie yang akan menghilang. "Ayo masuk, kita rapat jam 8" Antolin berjalan lebih dulu.
"Setelah rapat aku harus ke departemen" Rafael mengimbangi jalan Antolin.
"Kenapa harus kesana lagi?"
Dia membenarkan letak dasinya "mengambil berkas pemindahanku"
"Jadi kau akan menjadi dokter tetap di sini?"
"Kurasa iya"
Rafael menatap Antolin, seperti ada yang aneh menurutnya. Sesuatu yang err berbeda dari temannya. "Hey sejak kapan lensa itu ada di matamu? Dimana kacamatamu?"
Antolin tersenyum "aku terlihat tampan sekarang?" Tanyanya dengan percaya diri.
"Geez, let me to vomit in front of your shit face, dude" jawab Rafael dengan kasar.
"Sial kau" gumam Antolin diiringi tawanya.
"Haha, tapi aku rasa ini lebih baik, kawan" Rafael menepuk pundak temannya.
---
Terlihat beberapa lelaki dengan seragam putih keluar dari ruang aula rapat.
Mereka telah selesai untuk membicarakan soal penambahan alat-alat canggih bedah yang akan dioperasikan di rumah sakit, untuk lebih memudahkan pembedahan dan juga penambahan kualitas mutu bedah rumah sakit tersebut.
"Antolin, aku pergi sekarang" pamit Rafael.
"Baiklah. Tapi Raf"
"Iya?" Rafael menoleh pada Antolin.
"Kau tidak menjemput anakmu? Ini sudah jam 11"
Rafael menghela nafas, hampir saja dia lupa jika Antolin tidak mengingatkannya, 'Thanks'
Rafael mengeluarkan ponsel pintarnya, segera mengetuk dial up 1 yang terhubung langsung ke nomor ibunya.
Dia menunggu sebentar sampai ibunya menjawab.
"Halo, bu"
'Hm?'
"Bisa kau jemput anak-anakku? Aku harus ke Departemen sekarang"
'Tanpa kau suruh aku akan menjemputnya. Aku sedang di mobil'
Tut tut tut...
Ny.Lucas mematikan sambungan secara sepihak.
Rafael hanya bisa menghela nafas, kenapa ibunya masih saja dingin padanya?
Rafael mencoba melupakan hal itu, masalah pribadi seharusnya jangan dibawa ketempat kerja, pikirnya.
"Aku pergi sekarang"
"Hati-hati"
Rafael berjalan cepat menuju lift, dia masuk setelah pintu lift terbuka dan menekan tombol 'lantai dasar'.
Antolin bergegas meninggalkan ruangan aula, baru saja dia akan menjejakan kaki di anak tangga menuju lantai enam seseorang memanggilnya.
"Antolin"
Dia menoleh, terlihatlah Beverlly. Wanita yang akhir-akhir ini sering sekali datang ke tempat kerjanya, tujuannya yang pasti bertemu temannya, Rafael.
"Beverlly, kau di sini"
"Iya, sebentar lagi jam makan siang jadi aku membawa makanan untuk..."
"Rafael?" Potong Antolin.
"Iya" jawabnya dengan senyum anggun.
"Sayang sekali, Rafael baru saja pergi"
Raut wajah Beverlly berubah mengkerut "kemana? Apa daritadi?"
"Hmm ke Departemen, belum lama"

KAMU SEDANG MEMBACA
Dr. & Me [COMPLETED]
Romance[NEW YORK] // [BOOK] Ketika rasa yang dulu hanya kontrak telah berubah menjadi sesungguhnya. Benar apa katanya, Cinta memang butuh adaptasi baru bisa tumbuh menjadi saling berbagi.