22

748 63 16
                                    

"Jodha, dua hari ke depan aku ada pembukaan kantor. Jadi aku akan sangat sibuk. Kamu tidak apa-apa kan untuk sementara aku tidak bisa menjemputmu."
Ada perasaan bersalah di hati Jalal akan kebohongannya.

"Tidak apa-apa. Lebih baik kamu selesaikan pekerjaanmu. Aku bisa sendiri." Jodha mencoba menenangkan Jalal agar tidak khawatir.

"Aku akan selalu meneleponmu."

"Baiklah. Aku kerja dulu. Kamu hati-hati." Jodha hendak turun dari mobil, tapi Jalal menahannya.

"Tunggu. Kamu lupa sesuatu."

"Lupa apa?" Jodha mengernyit heran.

"Nih." Jalal menunjuk pipinya.

"Dasar modus."

"Ayo cepat. Kalau tidak, kamu tidak boleh turun."

Jodha dengan ragu mencium pipi Jalal, tapi dengan cepat dia mengecup bibir Jodha.

Jodha kaget karena Jalal mencuri ciuman di bibirnya dan langsung mencubit lengan Jalal.

"Aw ..."

"Kamu! Cari kesempatan dalam kesempitan." Jodha buru-buru turun dari mobil. Jalal terkekeh melihat Jodha yang malu.

@

Selama dua hari Jalal sibuk menyiapkan pembukaan kantor cabangnya, tapi dia tidak pernah lupa menelepon Jodha, bahkan tiap jam. Seperti pagi ini. Baru saja Jodha masuk ke butik, Jalal sudah menelepon.

"Hai, my love. Kamu sudah sampai di butik?"

"Iya. Aku baru sampai. Kamu kenapa tiap jam selalu meneleponku?"

"Aku rindu padamu. Disini aku terus memikirkanmu. Satu jam saja rasanya seperti setahun." Jodha memutar bola matanya.

"Sudah berapa banyak gadis yang kamu rayu seperti itu."

"Hanya kamu saja. Sungguh."

"Ya sudah. Aku mau kerja. Jangan ganggu aku terus."

"Ok. I love you."

"Love you too."

Dan akhirnya telepon ditutup. Entah kenapa Jalal merasa begitu gelisah hari ini. Dia hanya takut setelah Jodha tahu semuanya, dia akan kehilangan Jodha.

Waktu jam makan siang telah tiba. Jodha pamit pada Resham untuk membeli makanan di cafe dekat butik karena hari ini dia tidak membawa bekal.

Setelah membeli makanan, Jodha kembali ke butik dengan berjalan kaki. Ketika dia melewati kios majalah dan koran, tak sengaja dia melihat foto Jalal. Karena penasaran, akhirnya dia membeli majalah itu.

Majalah itu adalah majalah bisnis. Dia membaca sampulnya. Disana dia membaca tulisan yang membuatnya terkejut.

'Pembukaan kantor cabang baru AKDHATEX oleh Jalal Akbar Khanna.'

Terlihat jelas foto Jalal dengan pakaian khas seorang direktur perusahaan.

"Apa benar pria ini adalah Jalal? Jalal yang kukenal adalah seorang manajer." Jodha masih bertanya-tanya. Dia kembali meneliti gambar itu. Dan tidak salah lagi kalau ini adalah Jalal.

"Jadi, selama ini dia bohong padaku. Ternyata dia adalah putra dari Humayun. Putra dari orang yang sudah membuat hidupku dan keluargaku hancur."

Dia kembali teringat ucapan pria itu.

"Tolong jangan membenciku, Jodha. Aku hanya ingin kamu tahu kalau aku sangat mencintaimu."

Kata-kata itu yang selalu dikatakan Jalal, yang tidak dia mengerti maksudnya. Dan juga saat di festival, kenapa Jalal berkata belum mau mengenalkan orang tuanya? karena tahu Jodha pasti akan marah dan menolaknya.

Jodha kembali ke butik dengan tergesa. Nafsu makannya sudah hilang entah kemana. Bagaimana mungkin dia bisa dibodohi selama ini oleh Jalal. Pria itu menyembunyikan identitas aslinya dengan begitu lihainya. Bahkan ayah dan ibunya pun pasti juga tidak tahu.

Begitu sampai di butik, Jodha berpamitan ke Resham.

"Kamu mau kemana? Kamu tidak apa-apa kan?" tanya Resham heran melihat Jodha yang gelisah.

"Aku keluar sebentar. Aku ada urusan mendadak. Nanti aku ceritakan." Jodha mengambil tasnya dan buru- buru pergi.

"Ok. hati-hati, Jodha."

Jodha segera pergi ke kantor Jalal untuk memastikan apa benar itu dia. Jodha berharap semoga saja bukan. Karena jika sampai itu benar, Jodha tidak akan pernah memaafkannya.

Jodha sampai di kantor AKDHATEX. Jantungnya berdebar kencang. Dia masuk ke dalam dan di sana sudah banyak wartawan untuk meliput acara pembukaan.

Di dalam sebuah lobi yang cukup besar, dari kejauhan dia melihat Jalal menyampaikan pidatonya di depan wartawan. Jodha mendekat untuk melihat lebih jelas. Dia terkejut karena orang yang kini berpidato itu adalah benar-benar Jalal.

Dia memakai setelan jas dan bergaya sebagai seorang pemilik perusahaan ini. Tangan Jodha mengepal. Wajahnya memerah tanda dia sedang menahan amarahnya.

Setelah berpidato, selanjutnya adalah sesi tanya jawab.

Seorang wartawan bertanya pada Jalal. "Pak Jalal, kami dengar kantor cabang ini bukan atas nama anda. Apa itu benar?"

"Iya benar. Kantor ini atas nama Bharmal Sharma. Yaitu sahabat dari papa saya. Karena beliaulah, kantor cabang ini dibangun."

Jodha sudah tidak tahan lagi mendengar ini semua. Dia pergi dari sana dengan menangis. Dia mencoba menahannya tapi tetap saja air matanya mengalir.

"Bodoh! Kamu bodoh, Jodha," makinya dalam hati.

Dia tidak menyangka, Jalal tega membohonginya. Dia sudah memberikan hatinya pada putra dari orang yang paling dia benci.

Jodha memutuskan untuk tidak kembali ke butik. Dia menelepon Resham dan bilang kalau dia sedang tidak enak badan. Dia ingin pulang. Dia tidak akan bisa konsentrasi kerja bila hatinya sedang gundah. Jalal menelepon Jodha, tapi tak diangkat. Dia sudah terlanjur sakit hati.

Jalal sendiri bingung, kenapa Jodha tidak mau mengangkat teleponnya. Akhirnya dia mengirim pesan. Tetap saja tidak dibalas. Jalal gelisah.

"Kenapa Jodha tidak mengangkat telepon dan membalas pesanku. Ada apa dengannya?"

LOVE FAITH (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang