25

1K 60 17
                                    


Di depannya berdiri Jalal dan di belakangnya ada Humayun dan Hamida. Darah Jodha menggelegak melihat Humayun kini berada hadapannya.

Marah dan benci. Itulah yang kini berkecamuk di dalam dirinya.

Melihat Humayun, dia teringat kembali memori 10 tahun yang lalu. Dimana dia dan kedua orang tuanya diusir paksa dari rumah Humayun. Tangan Jodha mengepal disamping tubuhnya mengingat kejadian itu. Mendadak suasana di ruangan ini menjadi tegang.

Humayun terlihat merasa bersalah. Dia sedih melihat Jodha yang begitu membencinya. Dulu, saat Jodha masih kecil, gadis itu sering main dipangkuannya. Dan kini, Jodha bahkan tidak mau menyapanya.

Jalal juga diam. Dia tahu hal ini pasti akan terjadi, tapi dia akan terus mencoba untuk membuat hati Jodha yang keras itu kembali lembut seperti dulu. Dia tidak akan pernah bisa jauh dari gadis itu meskipun Jodha marah dengannya, tapi dia tahu kalau Jodha masih mencintainya.

Meena melihat Jodha yang seakan ingin meledakkan amarahnya, menghampiri untuk menenangkannya.

"Jodha. Ada Paman Humayun dan Bibi Hamida disini. Ayo beri salam."

"Kenapa mereka ada disini, Bu?"

"Kamu jangan berkata begitu. Mereka tamu disini. Kamu harus sopan."

Meena menarik lengan Jodha untuk bersalaman dengan mereka, tapi dia masih diam ditempatnya. Meena melotot ke arah Jodha agar mau mengikutinya. Dengan terpaksa dia melangkah malas mengikuti ibunya.

"Humayun, Hamida. Ini Jodha." Meena memegang tangan Jodha agar mau bersalaman dengan Humayun.

"Kamu sudah besar sekarang. Maafkan Paman karena sudah membuatmu menderita," ucap Humayun tulus.

Jodha hanya diam dan tersenyum sinis. Dia terpaksa menjabat tangan Humayun meskipun sebenarnya dia ingin meremukkan tangan itu.

Lalu dia bersalaman dengan Hamida dan wanita paruh baya itu mencium kening Jodha lalu memeluknya. "Kamu sudah besar dan semakin cantik." Hamida mengusap lembut rambut Jodha.

Jodha hanya diam. Sebenarnya dia merasakan kehangatan di pelukan Hamida. Kali ini Jodha tersenyum tulus.

Sedangkan pada Jalal, dia bahkan tidak menoleh ke arahnya. Jalal terluka karena Jodha masih tidak menghiraukannya. Mereka duduk bersama diruang tamu.

"Kamu kerja dimana?" tanya Humayun.

"Saya kerja di butik," ucapnya singkat.

Karena suasana yang canggung, Jodha merasa tidak nyaman. Dia pamit untuk mandi dan ganti pakaian.

"Ehm ... maaf, saya permisi dulu untuk membersihkan diri."

Mereka semua mengangguk mengerti. Jalal tak pernah melepaskan pandangannya dari Jodha sedari tadi. Dia berharap Jodha mau melihatnya, tapi itu hanya angannya. Jalal bertekad nanti malam dia harus bicara. Dia tidak tahan dengan kebungkaman kekasihnya itu.

"Baiklah, sayang. Setelah kamu mandi dan ganti pakaian, kita akan makan malam bersama. Kamu bantu Ibu."

"Iya Bu." Jodha mengangguk lalu beranjak meninggalkan mereka.

Jodha masuk ke kamar dan merebahkan tubuhnya di ranjang. Dia menatap langit-langit rumahnya. Kenapa dia harus bertemu dengan Humayun? Orang yang dia benci. Dan Ibunya menyuruhnya agar bersikap baik padanya.

Bersikap baik pada Humayun? Tidak akan pernah! Sampai kapanpun Jodha tidak akan memaafkan pria itu. Dia sebenarnya malas untuk makan malam. Namun, ayahnya memaksa untuk menghormati tamu.

Dengan langkah malas Jodha keluar dari kamar setelah mandi dan ganti baju. Semua orang sudah menunggunya di meja makan. Dia kaget karena tempat duduknya berada di sebelah Jalal.

"Maaf menunggu," ucap Jodha dengan senyum dipaksakan lalu duduk tanpa menoleh sedikitpun pada Jalal.

Makan malam dimulai dengan keheningan. Jodha hanya mengaduk-aduk makanannya. Dia tidak nafsu makan. Karena suasana yang canggung, Humayun mulai membuka suara.

"Jodha, Paman minta maaf padamu. Aku menyesal atas semua perlakuanku pada kalian." Jodha mendongak dan melihat ke Humayun.

"Apakah kata maaf dari anda bisa mengobati luka hati saya yang sudah anda buat 10 tahun yang lalu."

Akhirnya Jodha mengeluarkan semua amarahnya.

"Jodha! Jaga bicaramu." Meena membentak.

"Biarkan, Meena. Biarkan dia mengeluarkan semua amarahnya bila itu bisa membuatnya lega. Aku sudah membuat luka yang begitu dalam. Karena itu, sekarang aku ingin menebusnya. Bukankah semua orang mempunyai kesempatan kedua?"

Jodha diam. Saat ini yang ada di pikirannya hanya kemarahan dan kebencian.

"Maaf, saya tidak nafsu makan. Saya permisi." Jodha pamit lalu beranjak dari duduknya.

"Jodha ..." Meena dan Bharmal memanggil, tapi Jodha tidak menggubrisnya sama sekali.

Jalal tidak tahan lagi dengan semua ini. Dia juga beranjak dari duduknya dan mengejar Jodha. Jalal terus mengikuti Jodha hingga di depan pintu kamar. Jalal menarik tangan Jodha hingga mereka berdua berhadapan.

"Lepas!" Jodha mencoba memberontak, tapi Jalal semakin erat memegangnya.

"Tidak akan kulepaskan sebelum kita bicara. Kenapa kamu sekarang seperti ini? Kamu bukan lagi Jodha yang kukenal. Yang selalu baik dan ramah pada siapapun."

"Itu semua karena ayahmu. Aku benci ayahmu. Aku membencimu, Jalal! Lepaskan aku!"

"Tak bisakah kamu membuang rasa bencimu itu? Hal itu menyiksaku. Tak adakah kesempatan untukku dan ayahku untuk menebus semua kesalahan kami. Sikapmu ini membuatku gila!" Jalal membentaknya. Dia tidak suka dengan sikap Jodha yang menurutnya terlalu kekanak-kanakan.

"Tidak akan!"

Jodha menendang kaki Jalal sehingga cekalan tangan Jalal terlepas.

"Aw ... " Jalal meringis kesakitan. Dia lengah dan itu kesempatan untuk Jodha masuk ke dalam kamar. Menutup pintu itu dengan keras hingga membuat Jalal berjingkat.

Brak ...

"Jodha jika sedang marah berbahaya," gumam Jalal

Jalal masih meringis kesakitan lalu turun ke bawah dengan berjalan agak tertatih.

"Kakimu kenapa?" tanya Meena yang heran melihat cara Jalal berjalan.

"Tidak apa-apa, Bi. Jodha menendang kakiku."

"Dasar anak keras kepala. Kenapa sekarang menjadi kurang ajar."

"Sudah Meena. Biarkan saja. Jodha sebenarnya gadis yang baik. Dia hanya butuh waktu," ucap Humayun menenangkan.

Akhirnya mereka melanjutkan pembicaraan di ruang tamu. Saat ini mereka membahas tentang pengalihan kepemilikan kantor cabang yang akan diatasnamakan dengan nama Bharmal.

LOVE FAITH (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang