5. I Promise

10.2K 565 4
                                    


Sinar mentari mulai menyambut pagi. Cahayanya menembus ruang ventilasi sebuah kamar. Cukup menyilaukan, membuat seseorang yang berada di dalam kamar itu terbangun hingga memincingkan mata. Ara merasakan kehangatan matahari pagi. Ia tersenyum sendiri, membayangkan kejadian semalam yang justru lebih panas dari sinar matahari. Saking panasnya hingga mampu membakar tubuh Ara hidup-hidup dan membuatnya mati secara perlahan. Mati dalam pesona seorang Mikhaela yang mampu memercikkan bara panas yang membakarnya perlahan-lahan. Ara merasakan wajahnya memerah mengingat kejadian semalam. Ternyata ia bisa juga merasa malu. Apalagi saat ini ia mendapati gadis pujaannya dengan tubuh yang hanya ditutupi selimut tipis sedang meringkuk dalam pelukannya.

Ara memiringkan tubuhnya. Ingin mengamati wajah yang tidak pernah bosan ia pandang lebih lama. Menyingkirkan anak-anak rambut yang menutupi kening. Ara mendekatkan kepalanya dan mencium kening Mikha. Ciuman Ara mampu membuat Mikha tersadar dari tidur nyenyaknya. Mikha membuka mata, merasakan kehangatan tangan kokoh yang kini sedang mendekapnya. Wajah Mikha memanas, berarti semalam bukan mimpi! Mikha merasa malu saat ini, ia meraba tubuhnya yang bahkan masih tidak mengenakan apapun.

"Selamat pagi," bisik Ara dengan suara parau khas bangun tidur.

"Pa..pagi, Ara," Mikha tergagap. Ia menarik selimut hingga menutupi dadanya.

"Hei, jangan malu. Aku bahkan sudah hafal setiap inci tubuhmu," goda Ara yang membuat wajah Mikha semakin memerah.

"Hentikan, Ara. Atau aku tendang kamu dari sini sekarang juga," tegas Mikha untuk menutupi rasa gugupnya. Ara terkikik geli. Mendekap Mikha semakin erat. Mencium rambutnya dan merasakan aroma Lavender disana yang memabukkan.

"Mikha, apakah kamu tidak pernah berfikir untuk melakukan operasi pencangkokan mata?" tanya Ara tiba-tiba. Nada suara Ara berubah menjadi serius.

"Aku takut dengan rumah sakit. Lagipula ibuku tidak akan memiliki biaya. Kamu tau sendiri betapa mahalnya biaya operasi itu," Mikha menjelaskan. "Tapi aku bahagia dengan kondisiku yang sekarang. Walaupun aku tidak bisa melihat, tapi aku memiliki kamu yang bisa menjadi mata untukku."

Ara tersenyum haru dan mengelus rambut Mikha dengan sayang. "tapi aku ingin suatu hari nanti kamu bisa melihat indahnya dunia. Dan aku ingin orang yang pertama kali kamu lihat adalah aku. Apakah kamu tidak ingin melihatku?"

"Pertanyaan bodoh macam apa itu? Tentu saja aku ingin melihatmu, Ara. Bahkan setiap hari aku sudah melihatmu. Aku hafal setiap jengkal wajahmu," tangan Mikha terulur untuk meraba wajah Ara. Merasakan bibir Ara yang menyunggingkan senyum untuknya. Merasakan hidung mancung Ara yang bernafas menggelitik pipinya. Merasakan mata Ara yang berkedip-kedip bahagia.

"Maksudku, melihat dalam arti sebenar-benarnya," balas Ara. Ia menangkup tangan Mikha yang sedang meraba wajahnya dan mengecup punggung tangan itu.

"Aku tidak tau bagaimana rencana Tuhan dalam hidupku kelak. Tetapi jika memang Tuhan mengijinkan aku untuk bisa melihat, maka itu akan jadi kebahagiaan terbesar dalam hidupku. Dan kebahagiaanku akan semakin lengkap ketika saat itu kamu berada disisiku," Mikha mengemukakan harapannya. Ia menyunggingkan senyum paling manisnya pagi ini.

"Tentu saja saat itu tiba, aku akan selalu berada disisimu," Ara kemudian bangkit berdiri. Memungut bajunya yang sudah berserakan di lantai dan memakainya dengan cepat. "Sepertinya hari ini aku tidak bisa menemanimu. Aku ada sedikit urusan. Lebih baik kamu menunggu ibumu di rumah saja. Aku akan kembali kesini sesegera mungkin.

***

Tumpukan dokumen itu kini sudah berserakan di mana-mana. Memenuhi meja serta lantai di sebuah ruang kerja kantor yang sangat luas. Reka melempar semua dokumen yang masih ada di meja dengan frustasi. Banyak sekali pekerjaan yang harus ia selesaikan hanya dalam waktu semalam. Ia merasa kelelahan. Tidak sepertinya ia merasa seperti ini. biasanya, justru ia paling semangat untuk bekerja dan lebih banyak menghabiskan hidupnya di ruang kerjanya. Reka menghempaskan tubuh di sofa ruang kerjanya. Menaikkan dan menyilangkan kedua kaki di atas meja. Menengadah dan memejamkan mata, kemudian memijat keningnya pelan. Kepalanya terasa berat dan pening. Banyak hal yang menjadi tanggung jawabnya saat ini dan itu membuatnya seakan bisa gila hanya dalam waktu sehari.

Autumn's AmourTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang