6. I Trust You

9.6K 545 4
                                    


Bandar Udara Internasional Narita, setelah menempuh perjalanan udara yang cukup panjang akhirnya Ara dan Mikha menginjakkan kaki mereka di Tokyo. Dan mereka sudah disambut oleh sejuknya angin musim gugur. Mikha mengetatkan sweaternya karena sedikit merasa kedinginan, sangat berbeda dengan hawa panas Jakarta. Mereka masih diam untuk menunggu seseorang yang berjanji menjemput mereka di bandara. Mereka tidak bisa menghubungi orang itu karena Ara masih menggunakan nomor Indonesianya. Akhirnya mereka memutuskan untuk menunggu di salah satu café yang ada di bandara untuk menikmati santap sore. Belum sempat mereka melangkah, sebuah tangan menepuk punggung Ara. Ara menoleh ke belakang dan melihat Reka sudah tersenyum lebar.

"Hai, kak," katanya sambil mengedipkan sebelah mata.

"Sejak kapan kamu jadi centil?" balas Ara sambil memutar bola matanya sebal. Sementara itu Mikha hanya diam karena merasa sedikit canggung. Ini adalah pertemuan pertamanya dengan Reka.

"Hahaha, dari dulu aku memang centil. Hai, kakak ipar," Reka mengalihkan pandangannya pada Mikha yang sejak tadi diam. Tangan Reka terjulur untuk bersalaman dengan Mikha dan Ara yang mengetahui itu membantu Mikha untuk membalas uluran tangan Reka.

"Hai," sapa Mikha singkat. Ia tidak tau lagi harus bicara apa atau memulai pembicaraan dari mana. Entah mengapa ia hanya merasa nyaman jika berbicara panjang lebar dengan Ara. Dan di hadapan Ara saja ia bisa menunjukkan sisi lain dirinya yang kadang cerewet dan banyak bicara.

"Lebih baik kita langsung menuju stasiun. Atau kalian mau menginap di Tokyo satu malam dulu?" Reka menawarkan.

"Bagaimana Mikha? Apa kamu sudah kelelahan?" Ara balik bertanya pada Mikha.

"Memang kita akan pergi kemana? Aku terserah saja," jawab Mikha pada Ara.

"Reka memiliki apartemen di Kyoto. Dan sepertinya kita akan menghabiskan bulan madu kita di Kyoto. Hmm... lebih baik kita langsung ke Kyoto saja," Ara segera memutuskan.

"Baik kalau begitu. Nanti kalian tidak apa-apa kan makan di shinkansen? Aku sudah membelikan bento untuk kalian," tanya Reka. Ara dan Mikha hanya mengangguk.

***

Akhirnya setelah melewati tiga jam perjalanan dengan shinkansen, kereta api super cepat di Jepang, mereka tiba di salah satu kota besar yang juga dahulu pernah menjadi ibukota Jepang. Hawanya tidak jauh berbeda dengan Tokyo, begitu sejuk dan dingin. Sayang, Mikha hanya bisa merasakan saja tanpa bisa melihat. Alangkah bahagianya ia jika saja ia bisa melihat keindahan yang ada di depannya. Dan tiba-tiba saja Mikha berpikir untuk melakukan operasi pencangkokan mata. Ia ingin sekali melihat Ara secara langsung dan ingin melihat bagaimana indahnya dunia. Ia merasa bahwa kegelapan telah mengungkungnya selama 23 tahun hidupnya di dunia ini. Tuhan, seandainya aku bisa melihat keindahan ciptaanku. Dan semoga suatu hari nanti Kau mengijinkan aku untuk merasakan itu. Doa Mikha dalam hati.

Ia tidak pernah menyalahkan Tuhan atas kekurangannya. Ia tidak pernah mengeluh selama ini. Ia selalu menerima apa yang Tuhan berikan dalam hidupnya. Dan ia yakin Tuhan akan memiliki rencana yang indah dalam hidupnya. Bahkan dalam kondisi saat ini, Tuhan telah memberikan kebahagiaan yang sunggung nyata. Bisa bersama dengan orang yang kamu cintai, itu lebih dari cukup. Mikha tetap bersyukur atas hidupnya yang sekarang.

Dengan dijemput oleh seorang sopir, dari stasiun Kyoto mereka menuju ke apartemen Reka. Mikha merenung sesaat di dalam perjalanan. Hidup Reka dan Ara memang sangat jauh berbeda. Meskipun tidak bisa menilai secara langsung dan hanya menilai bersadarkan apa yang dia rasakan, tetapi Mikha merasa bahwa Reka bak tuan muda yang selalu dikelilingi pengawal-pengawal dan kemewahan yang juga selalu mengikuti kemanapun dia pergi. Dia sungguh diperlakukan layaknya seorang raja. Ketika ia menginginkan sesuatu pasti akan dengan mudah mendapatkannya. Bahkan ia mampu mengatur hidup orang lain, termasuk hidupnya dan juga Ara. Sementara Ara? Mungkin jauh dari kemewahan. Ia hidup dengan bebas dan harus bersusah payah dulu untuk mendapatkan apa yang ia inginkan, termasuk mimpinya untuk menjadi seorang fotografer terkenal. Itu yang Mikha tau berdasarkan apa yang ia rasakan dan juga yang pernah diceritakan oleh Ara mengenai hidupnya. Sekali lagi Mikha sedikit merasa sedih, seandainya ia bisa melihat. Pasti ia bisa menilai dengan lebih objektif. Tidak! Aku tidak boleh mengeluh. Hidup seperti ini bagiku sudah sempurna.

Autumn's AmourTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang