Langkah kaki itu tergopoh-gopoh menuju salah satu ruang UGD yang ada di sebuah rumah sakit. Langkah itu terhenti saat ia melihat seseorang sudah menunggunya di depan sebuah ruang UGD yang masih tertutup. Mikha memang belum pernah melihat secara langsung wajah Oscar, tetapi ia bisa menebak bahwa lelaki di depannya ini adalah Oscar. Mikha berjalan pelan menghampiri Oscar yang tampak sangat kacau. Ia bahkan belum sempat bercukur melihat bulu-bulu kumis dan janggut yang mulai tumbuh. Lelaki itu masih mengenakan kemeja kerjanya namun dengan dua kancing atas terbuka dan sangat berantakan.
"Mikha..." sambut Oscar dengan suara yang sangat pelan. Matanya menyiratkan kepedihan, sama seperti mata Mikha. Bahkan Mikha dapat melihat penyesalan yang amat besar di kedua bola mata Oscar.
"Semuanya gara-gara aku. Aku terlalu egois hingga membuatnya hancur seperti ini," bahu Mikha terguncang. Ia menangis bahkan sebelum sempat melihat keadaan suaminya yang masih berjuang untuk hidup.
Oscar menggeleng pelan, "semua gara-gara aku, Mikha. Seandainya aku tidak pernah mengatakan hal yang sebenarnya pada Naoki. Tentu tidak akan jadi seperti ini."
"Lalu apa yang akan terjadi jika kamu tidak mengatakan kebenarannya pada Naoki? Kebohongan itu akan berlarut-larut dan akan menimbulkan borok yang lebih parah, Oscar." Mikha mendesah. Bagaimanapun, jika ia tidak egois untuk lebih bisa bersabar dan memaafkan Reka, tentu semua ini tidak akan terjadi. Mikha jatuh terduduk di lantai. Ia menutup wajahnya dengan tangan dan menangis tersedu-sedu.
Mengapa saat itu ia tidak bisa berpikir panjang? Kenapa ia menyalahkan Reka seolah-olah lelaki itulah yang menjadi sumber dari segala kebohongan ini? Kenapa ia tidak mau berbicara baik-baik dengan Reka dan memaafkan lelaki itu? Apakah begitu mahal sebuah kata maaf untuk Reka? Ia mengingat bagaimana Reka berlutut di hadapannya untuk memohon ampun. Ia mengingat bagaimana tangis penyesalan dari mata Reka. Ia mengingat bagaimana lelaki itu juga hancur ketika ia mengatakan kata perpisahan. Ah, sungguh bodoh kamu, Mikha! Makinya pada dirinya sendiri.
Lalu apa yang bisa dilakukan sekarang? Hanya menangis dan meratapi apa yang sudah terjadi? Tentu semua itu sudah terlambat! Bahkan Reka sekarang sedang berjuang antara hidup dan mati di dalam sana.
Mikha merasakan sebuah tangan memeluknya dan menuntunnya untuk berdiri dan duduk di atas kursi tunggu. Tangan itu kemudian merangkulnya dengan lembut dan mengelus bahunya untuk menenangkan. Tapi air mata tetap saja tidak bisa berhenti. Sakit... ini terlalu sakit.
"Mikha, tenanglah. Reka akan baik-baik saja."
"Oscar, boleh aku meminjam bahumu?" tanya Mikha dengan sesenggukan.
"Kapanpun." Oscar menuntun kepala Mikha untuk bersandar di bahunya. Dan Mikha kembali menangis sejadi-jadinya. Mengeluarkan segala sesak yang menjadi beban. Ia akan menangis, hingga air matanya habis.
***
Naoki memandang bangunan di depannya dengan hati yang seperti diiris-iris. Dulu, bangunan ini adalah tempat favoritnya. Ia seringkali menghabiskan waktu disini bersama dengan Ara. Tertawa, menangis, bertengkar, bercanda. Apapun itu. Bangunan studio yang sudah menjadi seperti aliran darah dan jantung Ara. Bangunan yang memiliki banyak kenangan indah yang mungkin tidak akan pernah lekang oleh waktu.
Namun bangunan itu kini sudah tak berbentuk. Hanya ada dinding yang rapuh dan menghitam sisa-sisa kebakaran. Hanya ada atap yang kebanyakan sudah ambruk. Naoki mencoba untuk masuk ke dalam. Mencoba mencari segala kenangan yang bisa ia temukan. Ia menapaki lantai itu. Melihat segala ruangan yang sangat berantakan. Perabotannya bahkan masih ada, namun kebanyakan sudah hangus tak berbentuk.
Ia terus berjalan dan mencari. Apapun. Sisa kenangannya bersama Ara. Ia melihat beberapa foto hasil karya Ara yang berserakan di lantai dan tertindih puing-puing. Naoki berjongkok, menyingkirkan puing-puing itu dan mengambil beberapa foto yang berserakan. Sebagian foto itu masih sangat bagus dan sebagian lagi sudah hangun menjadi abu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Autumn's Amour
RomanceNO COPAS/REMAKE TANPA IJIN AUTHOR!!! BELUM REVISI EYD... ---------------------------- "Bukan keinginanku untuk terlahir buta. Namun aku sungguh beruntung karena memiliki suami yang begitu mencintaiku dengan segala kekurangan fisik yang aku miliki. D...