21. Like in Hell

7.4K 490 39
                                    


Happy reading ^^

______________

Reka lelah. Ia sungguh lelah berdebat dengan Ayahnya yang hanya akan menguras emosinya. Sepertinya salah jika ia mengambil keputusan untuk kembali ke rumah yang seperti neraka ini. Ia juga lelah selama ini harus menjadi seorang anak yang bisa diperlakukan seperti robot. Diatur sesuka hati Ayahnya tanpa memikirkan apa keinginannya yang sebenarnya. Tanpa mempedulikan Ayahnya yang masih menatapnya dengan penuh emosi, Reka masuk ke dalam kamar dan mengunci pintu.

Ia bersandar di dinding pintu dan jatuh terduduk. Ia menutup wajahnya. Mencoba menghalau bayangan-bayangan samar yang tiba-tiba menari-nari dalam ingatannya. Membuat kepalanya sakit. Sakit sekali. Reka menjambak-jambak rambutnya sendiri. Rasa sakit ini tidak tertahankan. Jika memang rasa sakit ini akan mencabut nyawanya, ia rela.

"Aaarrrgghh!!!" Reka berusaha menahan rasa sakit yang terus menggerogoti otaknya. Ia seperti tidak sanggup lagi untuk bertahan. Kenangan-kenangan itu menyerangnya. Menghantamnya dengan begitu menyakitkan. Ia ingin melumpuhkan otak, tetapi ia tidak bisa. Justru saat ini otaknya bekerja dengan begitu cepat.

Visual-visual kenangan masa lalu kini bagaikan layar lebar di depan mata. Terus menghantamnya tanpa ampun. Reka Masih terus memegangi kepalanya yang pening dan ngilu. Mengapa kenangan harus kembali di saat seperti ini? Dan akhirnya, Reka terlempar pada kenangannya yang sempat hilang.

***

Flash back

"Ibu, apa aku boleh menjadi seorang fotografer?"

Reka melihat Ara yang saat itu sudah beranjak remaja menghampiri Ibunya yang sedang duduk santai di ruang keluarga sambil menikmati secangkir green tea. Sementara Reka masih terus berkutat dengan buku-buku pelajaran di tangannya. Ia membetulkan kacamata yang melorot hingga hidungnya. Mencoba tidak mempedulikan pembicaraan Ara dan ibunya dan tetap fokus pada materi eksakta di tangannya.

"Tentu saja, Sayang." Margareth berkata lembut sambil mengisyaratkan agar Ara duduk di sampingnya.

"Kalau begitu apakah aku boleh mengambil sekolah fotografi jika sudah dewasa nanti?" Ara merebahkan kepalanya di bahu Ibu dengan manja.

"Apapun keinginan kamu." mendengar jawaban Ibu membuat Ara tersenyum bahagia dan memeluk Ibunya dengan erat.

"Besok ada pameran fotografi di sekolah. Ibu dan Reka datang, kan?" Ara memohon. Margareth mengangguk dan memandang Reka.

"Bagaimana, Reka? Kamu mau datang bersama Ibu?"

"Terserah Ibu saja." Reka memaksakan senyumnya. "Bu, kalau aku nanti mengambil kuliah kedokteran boleh?"

Reka mendengar Margareth menghela nafas berat, "tapi kamu sudah berjanji untuk melanjutkan sekolah bisnis, Sayang. Kakakmu sudah menjadi fotografer, dan tidak mungkin tidak ada yang menjadi penerus Ayah, kan? Hanya kamu satu-satunya harapan Ibu untuk meneruskan perusahaan Ayah."

Reka melihat mata Margareth yang sarat akan permohonan dan harapan. Akhirnya Reka mengangguk walau dalam hatinya ia merasa berat sekali untuk meninggalkan dunia yang sangat ia cintai. Sejak kecil ia memang ingin sekali menjadi seorang dokter. Kecerdasannya di bidang eksakta tidak bisa diragukan. Ia selalu mendapat juara kelas dan sering mengikuti lomba-lomba mata pelajaran.

Sementara Ara kebalikannya, minatnya di bidang seni lebih tinggi. Ia bahkan pernah tidak naik kelas dan harus sekelas dengan Reka serta disbanding-bandingkan dengan Reka. Tetapi sejauh itu, Ara tidak pernah peduli jika ada orang yang mencibirnya. Ia tidak pernah ambil pusing apa kata orang. Yang terpenting adalah ia melakukan apa yang ia sukai. Itu pula yang menyebabkan Margareth lebih banyak memperhatikan Ara disbanding Reka.

Autumn's AmourTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang