18. My Empty Soul Without You

7.9K 460 18
                                    


Menunggu hari-hari dimana Mikha akan melakukan operasi pencangkokan kornea rasanya seperti di neraka. Aku selalu berusaha membujuk Ara untuk mengurungkan niatnya, tapi itu semua sia-sia. Hingga pernah aku berpikir untuk membawa Ara kembali pulang ke Jakarta. Tetapi Ara tidak mau kembali karena jika ia kembali, maka kemungkinan besar ia tidak akan bisa menahan keinginannya untuk bertemu Naoki.

"Jika memang kamu ingin menemuinya, temuilah dia. Aku sudah tidak peduli lagi dengan hubunganmu dan Naoki. Kalau kalian masih saling mencintai, kalian bisa memulai semuanya dari awal, kan?" tanyaku di sela-sela kunjunganku yang kesekian kali.

"Aku tidak mau kembali padanya," tegas Ara sambil menggeleng yakin

"Lalu? Ketika kamu sudah memutuskan untuk tidak mau kembali bersamanya dan kamu juga bisa seenaknya menyakiti dirimu sendiri? Tidak masuk akal!" Seandainya aku bisa membayar berapapun untuk mengetahui apa yang ada dalam pikiran ara, aku rela membayarnya. Terkadang aku heran dengan jalan pikirannya yang aneh dan kadang melenceng dari yang seharusnya. Patah hati bukan akhir dari segalanya kan? Bahkan dengan ketampanannya ia bisa mencari wanita yang lebih baik dari Naoki!

"Kamu berbicara seperti itu karena kamu belum pernah mengetahui bagaimana rasanya ditinggalkan perempuan yang sangat kamu cintai, Reka." Ia memalingkan wajahnya dariku dan memilih untuk memandang jari-jarinya yang saling bertaut.

Aku sedikit ngeri membayangkan bagaimana jika aku mengalami hal yang sama? Apakah efek patah hati bisa sebegitu dahsyatnya? Aku benar-benar tidak ingin mengalami hal yang sama seperti Ara. Melihat Ara begini saja sudah membuat hatiku ikut sakit. Tapi melihat hubunganku dengan Mikha yang sejak awal dibangun dengan dasar kebohongan membuatku terdiam.

Mikha, apa yang akan terjadi padaku jika suatu hari nanti kamu pergi meninggalkan aku?

Aku ikut memalingkan wajah dari Ara. Memang menemui Ara sangat menguras emosi dan mental.

"Aku takut untuk membayangkan bahwa suatu hari nanti Mikha akan meninggalkanku," kataku jujur.

"Aku yakin ia tidak akan meninggalkanmu. Apalagi jika suatu hari nanti kalian memiliki anak."

Anak? Membayangkan aku memiliki anak sangat jauh dari ekspektasiku. Aku sangat ingin Mikha mengandung anak kami, tapi bukan sekarang. Tidak saat Mikha masih belum mengetahui jati diriku yang sebenarnya. Aku tidak mau ketika ia mengandung saat-saat sekarang, justru akan berpengaruh pada kondisi kehamilannya. Apalagi jika ia mengetahui kenyataan pahit ini saat ia masih hamil di usia-usia yang sangat rawan. Lebih baik aku menunda untuk punya anak. Dan itu artinya aku harus diam-diam memasukkan pil KB ke dalam minuman Mikha sesaat sehabis kami bercinta.

"Mungkin aku akan menunda untuk punya anak disaat kondisi hubunganku dan dia masih rapuh seperti ini."

Ara tersenyum dan tidak membalas perkataanku lagi. Tiba-tiba keheningan yang panjang menyelimuti kami.

"Reka, boleh aku melihat Mikha sekali lagi?"

"Tentu saja, kamu berhak melihatnya. Aku akan membawanya ke rumah sakit untuk check up kondisi matanya terlebih dahulu. Saat itu, kamu bisa melihatnya."

***

Hari itu, hari dimana aku mengantar Mikha untuk pertama kalinya menemui Dokter Sato Okazaki, aku melihat Ara duduk di kursi roda di dekat taman rumah sakit. Sangat dekat dengan posisiku dan Mikha karena kebetulan letak ruang Dokter Sato dekat sekali dengan taman. Saat itu Ara ditemani oleh Oscar. Saat kami duduk di ruang tunggu, Aku tidak pernah melepaskan pandanganku dari Ara. Ia terus melihat Mikha dengan tatapan yang sangat sulit aku artikan.

Autumn's AmourTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang