Part 1-Babak Baru

18.2K 626 25
                                    

Aku suka hujan.

Hujan mampu menyembunyikan airmataku,

Hujan dapat mendinginkan otakku hingga aku berharap pikiranku akan beku.

Hujan,

Aku selalu berharap dibawah tetesan air hujan yang tak pernah berhenti,

Kesedihanku ini akan luruh bersama bulir air yang jatuh.

---

Dua jam telah berlalu, tapi aku dengan setia tetap duduk bergeming dibawah derasnya hujan.

Aku mendongakkan kepalaku, menatap langit yang sendu. Butiran air dengan kasar menampar wajahku. Mataku dengan refleks memejam. Pedih.

Bukan, pedih ini bukan pada mataku, lebih pada hatiku.

Aku mengambil nafas, lalu menghembuskannya secara kasar. Sekarang aku tak lagi menatap langit. Aku menatap kosong pada jari-jari kakiku yang terbalut butiran pasir, yang aku lihat kini mulai keriput.

Aku merasakan dingin. Tubuhku menggigil. Tapi otot-ototku seakan telah beku. Sendi-sendiku macet untuk sekedar aku gerakan. Aku meringis. Kepalaku terasa berat, pandanganku mengabur. Dengan cepat ku usap air yang memenuhi wajahku hingga menghilangkan pandanganku.

Sampai kapan kamu akan menunggu, Kaynna? Berdiri, berjalan mundur, berlarilah sejauh yang kamu bisa.

Pikiranku berdemo. Memintaku untuk melupakan, untuk berhenti dari apa yang aku ingat. Tapi hatiku menolak. Jika hatiku setuju, tidaklah mungkin aku berada dibawah hujan yang membuatku semakin beku, tak tersentuh.

"AAAAAAAAAAA" Aku berteriak kesetanan, mengeluarkan seluruh suara yang masih dapat keluar dari mulutku.

"Kenapa lo pergi hah? Kenapa? Apa salah gue sampe lo ninggalin gue? Lo," Suaraku tertahan oleh amarah. Aku tak dapat melanjutkan apa yang ingin aku katakan. Semua pertanyaan ada dalam kepalaku hingga aku tak tau bagaimana caranya bertanya. Aku bahkan tidak tau kepada siapa aku harus bertanya.

Yang aku tahu, tubuhku bergetar. Entah karena isakanku atau karena dingin.

Dan, tiga jam telah berlalu. Hujan mulai mereda, hanya rintik kecil yang masih belum lelah mengguyur permukaan bumi.

Aku masih duduk ditempat yang sama. Tempat persembunyian dari orang-orang. Tempat pelarian dari masalah-masalah. Tempat ini yang selalu siap menjadi saksi kesedihanku, saksi kelemahanku, saksi keterpurukanku. Saksi yang tak akan pernah mampu membicarakan pada siapapun bahwa aku pernah kalah.

Aku menghembuskan nafas, lagi.

Aku memutuskan untuk meninggalkan tempat ini dengan bantuan persendianku yang mulai mencair. Karena beberapa menit yang lalu, sang surya mulai menampakkan sinarnya. Sedikit. Tapi cukup untuk mencairkan organ-organku, kecuali hatiku.

Hujan benar-benar berhenti. Kini hanya butir air yang lelah bertahan diatas daun yang meminta untuk dilepaskan. Huh, harusnya daun yang meminta air itu pergi karena menjadi beban. Memberatkan.

Aku berjalan menyusuri tepi pantai yang sangat sepi. Kaki mungilku bermandikan pasir putih. Bukan hanya kakiku, bahkan celanaku pun tak tau sudah berwarna apa. Aku selalu memakai celana putih setiap kesini. Itu wajib. Entah, hanya saja aku jadi lebih rilex setiap melakukannya.

Ombak dengan lembut menyapa kakiku. Aku tersenyum lalu menggumamkan namanya, gue kangen.

---

"Darimana Kay?" Mama berseru dari arah taman, begitu aku menutup pintu gerbang.

"Pantai, Ma." Aku berjalan kearah kran air disebelah taman, lalu mencuci kakiku.

Key for KayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang