Part 5-Telepon dari Key

5.1K 368 7
                                    

Aku sedang memandangi kak Dafin, bukan apa-apa sih, cuma aku penasaran aja, kenapa kak Dafin bisa di Jakarta dan tiba-tiba maafin aku. Padahal dulu–dihari Dava berpulang–dia murkanya ga ketulungan.

Apa waktu telah mengubah segalanya?

Tapi mengapa waktu tidak membunuh rasaku pada Dava? Apa waktu memilih?

"Kak Kaynol" Suara anak kecil menggelegar memekakan telinga, aku mengerjap beberapa kali saat tersadar tidak hanya ada aku dan bayangan-bayangan dalam otak ku disini.

Pasti Brian, adik laki-lakiku yang berusia 5 tahun.

"Apa? Baru pulang langsung teriak-teriak aja."

Brian langsung duduk nyempil diantara aku dan kak Dafin. Mama yang baru masuk hanya melihat sekilas sambil senyum-senyum ga jelas.

"Ma, ngapain si ini cunguk pake dijemput segala? Suruh di tempat camping aja terus, kan rumah jadi adem ayem, tentrem." Aku berseru sambil melirik ke arah Brian. Sebenarnya nih ketawa udah pengen nyembur. Liat tampang absurd Brian kaya muka kecebur kolam katak yang ga ada airnya.

"Kak Kaynol kaya pitik ih."

"Paan pitik dek?"

"Ya kaka. Ngaca aja coba." Dan dengan kecepatan angin sepoi-sepoi aku bergegas melompat dari sofa menghampiri cermin di jalan menuju dapur.

"Apaan dek? Muka kaka masih cantiiiik tauu." Aku berteriak gak jelas dari depan cermin. Emang maksud Brian apaan sih?

"Hahaha" Aku mendengar tawa meledak di ruang keluarga. "Mau aja dikibulin sama anak kecil Kay, Brian kan asal ngomong aja."

Aku melongokkan kepalaku, dan kulihat Brian anteng-anteng aja sambil memainkan game di iphone kak Dafin, sedangkan kak Dafin berusaha menahan tawa sampai mukanya memerah. Sial.

Aku kembali duduk di sofa–bersama Kak Dafin dan monster kecil tentunya–yang udah ngomong asal njeplak–bikin gue repot-repot nyari kaca, dasar bocah minta dicium sepatu.

"Eh, kak Kay tempat aku camping sama temen-temen bagus loh. Terus pas malem-malem serem banget." Brian ngoceh tentang pengalamannya camping ala anak TK, sampe mulut berbusa gitu tanpa mengalihkan perhatian dari game-nya.

"Terus? Emang kamu, anak kecil, camping dimana?" Tanyaku sambil bangkit lagi, kali ini menyusul Mama ke dapur. Lagian Mama di dapur lama banget kaya udah setahun, bisa lumutan tuh entar.

"Dibelakang sekolah, kak." Jawab Brian dengan tampang polosnya.

"Cuma dibelakang sekolah, dek?" Aku membalikkan badan menatap Brian, seketika tawaku menyembur, kak Dafin yang masih ada di sini juga ikut tertawa. Tawanya mirip Dava. Iyalah orang dia Abangnya.

"Ih kok malah pada ketawa si? Daripada kak Kay liburan aja ga pernah." Bibir Brian manyun.

"Kata siapa? Kaka kan sering ke Pantai. Itu liburan kok." Aku berkacak pinggang.

Sebelum aku melanjutkan langkah lagi untuk ke dapur, aku lihat kak Dafin mengelus kepala Brian. Benar-benar mirip cara Dava memperlakukan Brian. Lalu kak Dafin jalan ke arah ku.

"Kay, ikut Kaka sebentar. Kita ngomong di luar." Aku menatap Kak Dafin 3 detik setelah itu aku mengangguk.

"Mau dibawa kemana tuh kak Kaynol nya, kak?" Brian yang sedang menonton televisi bertanya tanpa mengalihkan pandangannya dari layar.

"Anak kecil ga boleh tau." Jawabku sambil terus berjalan keluar menuju teras.

"Di loakin aja kak Fin, tapi jangan lupa Brian dibagi duitnya." Brian masih menjawab sambil teriak yang aku balas pelototan sebelum akhirnya aku benar-benar menghilang dibalik tembok.

Key for KayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang