Aku memain-mainkan telunjukku dan mengetuk-ngetukkannya ke atas buku. Yah, aku sedang berpikir. Tinggal 1 soal matematika integral tertentu yang belum ku jawab. Aku tidak pernah membawa tugas yang masih kosong ke sekolah, itu bukan Kay banget. Aku tidak pernah melewatkan satu nomor pun. Catat: tidak pernah.
Sekalipun ngasal aku selalu memakai logika, rumus dan perpaduan lainnya agar jawaban ku mendekati sempurna. Sekalipun salah bakal tetep nalar. Tapi kemungkinan salah untuk seseorang yang kecerdasannya diatas rata-rata sepertiku sangatlah sedikit. Tidak, aku sedang tidak menyombongkan diri. Aku hanya memberi tahu. Jadi, kalau aku bercita-cita masuk Oxford university percaya kan? Gak ketinggian kan mimpi gue?
Aku sudah mencoret-coret buku ku berkali-kali. Tulis rumus, hapus. Tulis rumus, coret. Arrghhh! Ini kok jadi keliatan susah banget si??
Aku bangkit dari meja belajarku, aku memboyong buku-buku itu ke atas kasur ku. Aku tengkurap mencari posisi ternyaman. Aku memukul-mukul kepala dengan pensil yang ku pegang. Oke aku frustasi.
Aku membenamkan wajahku, tanganku terlipat untuk menopang kepala. Mataku terpejam mencoba berimajinasi bagaimana cara menyelesaikan satu soal matematika yang sudah membuatku merasa mual dan mulas dalam satu waktu.
Oke aku menyerah. Aku mengambil posisi duduk, lalu melihat soal itu sekali lagi. Namun, dengan cepat tanganku malah menutup buku itu. Ini gerakan refleks karena jenuh yang sudah ingin meluap ke permukaan dan siap menenggelamkan siapapun yang menolak untuk mengikuti aturan mainnya. Ampun! Gue ngoceh apaan?
Saat aku ingin memasukkan tugas itu ke dalam tas, ponsel ku berkedip. Aku meraih ponsel itu dengan semangat. Siapa tahu Gea kan? Aku udah kangen banget sama tuh bocah.
Karena terlalu bersemangat aku lupa melihat caller ID.
"Hallo Geaaaaaa, lo kemana aja sih? Cepet pulang... gue kangen. Gue butuh ngomong sama lo. Banyak banget nih. Gue pengen ngeluh. Dan lo harus dengerin. Oh ya jangan lupa oleh-olehnyaaaa looh." Aku terus nyerocos. Merasa tidak di respon aku terdiam. Dan mengerutkan kening.
"Udah?" Tanya suara diseberang dengan kalem.
Loh sejak kapan suara Gea jadi berat gini, batinku.
Aku menarik ponsel dari telingaku, lalu melihat layar yang menyala. Mampus, ini Keynan! Aku refleks menepuk keningku dengan tanganku yang bebas, yang tidak sedang memegang ponsel.
Aku masih diam, merutuki kebodohan ku.
"Hahaha. Dasar ceroboh."
Aku cemberut, yang pasti gak akan dilihat Keynan. "Brisik ah, ngapain lo nelpon? Gue mau tidur!"
"Please give me a five minutes." Tawa Keynan sudah tidak terdengar.
"Oke, your time start from now!" Aku berjalan keluar kamar, menuju balkon.
"Lo masuk terus ambil buku tugas matematika, kerjain tugas yang tersisa. Dengerin instruksi gue. Lo liat rumus di buku paket halaman 113. Dihalaman 115 ada contoh soalnya. Lo tinggal pahami. Emang gak sama, tapi mirip." Aku terus mendengarkan, ada jeda sedikit.
Mungkin Keynan mengambil nafas, karena dia menjelaskan dengan kecepatan super duper maksimal.
Beberapa detik hening, Keynan melanjutkan kata-katanya "Sekarang lo masuk, angin malam ga baik buat kesehatan, lo bisa sakit. Oke, gue rasa waktu yang lo kasih juga udah habis. Selamat malam Kay." Keynan berhenti bicara.
"Tunggu..tunggu, jangan dimatiin dulu. Gue punya pertanyaan." Aku memekik.
"Apa? Jadi aku dapet tambahan waktu buat jawab pertanyaan mu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Key for Kay
Teen FictionKaynna. Cewe dingin, cuek, cerdas, namun tak tersentuh. Bahkan tak banyak yang menganggapnya ada. Bagaikan burung merpati yang baru belajar untuk terbang dunia memintanya untuk melakukan segala sesuatu seorang diri. Ditinggalkan oleh orang di masa l...