Part 17-The Evidence

3.3K 276 11
                                    

Dari luar aku sudah mendengar suara teriakan Brian yang mirip kaleng rombeng. Tebakanku si simple aja, pasti udah pada pulang tanpa ngasih kabar. Aku melangkah gontai memasuki rumah. Mataku menangkap sosok Brian yang sedang berlarian sambil memainkan mainan pesawat terbang.

"Wuuuusssshh, nguiingg.... ayooo terbang yang jauuuuhh." Kata Brian sambil berlarian kesana kemari membuat ku pusing. Kalo pesawatnya terbang jauh lo juga bakal ikut terbang laaah orang itu pesawat sama lo juga dipegangin, pinter banget sih adek gue!! Geramku dalam hati.

"Eh Kakak udah pulang? Liat nih kak, pesawatnya terbang tinggi kan?? Wuuussshh....." Kata Brian sambil menggoyang-goyangkan pesawat mainan di tangannya.

"Hmm. Jangan brisik dek, kakak pusing tau." Kataku sambil berjalan menaiki tangga.

"Kak...kak." Teriak Brian sambil berlarian mengikuti ku.

"APA?!" Kataku galak sambil menatap horor pada Brian. Dianya malah menunduk dan memperhatikan 'pesawat'nya.

"KAAAYY"

Aku menghembuskan nafas jengah. APA LAGI???

"Yaa Ma? Ada apa?" Kataku sambil duduk di salah satu anak tangga.

"Kamu itu ya, dipanggil bukannya mendekat malah duduk di situ." Kata Mama yang ku lihat muncul dari dapur.

"Emang ada apa Ma? Cape."

"Bantuin Mama beresin ruang kerja Papa dong. Mama mau masak. Biar nanti selesainya bareng gitu. Jadi pas Papa pulang ruang kerjanya udah beres dan kita bisa makan sama-sama." Cerocos Mama panjang lebar. Seperti biasa.

Aku menghela nafas panjang. Takut kalau sebelum melakukan pekerjaan nafasku sudah habis lebih dulu hanya dengan membayangkannya.

Aku mengangguk samar, "Yaudah kamu ganti baju dulu sana."

"Gausah Ma, besok kan gak dipake lagi. Daripada nambahin cucian." Aku nyengir kuda.

"Eh dek, nih bawain tas kaka ke kamar ya, pake pesawat terbang itu. Biar cepat. Wiiuuuss" kataku menirukan kata-kata Brian dan menyerahkan tas sekolah padanya. Tenang aja tasku hari ini ga begitu berat kok. Aku bukan kaka yang kejam Oke?

"Siap BOSS!!" Kata Brian sambil mempraktekkan gerakan hormat.

Aku berjalan menuju ruang kerja Papa. Aku jarang sekali masuk ke ruang kerja Papa. Hampir tidak pernah. Atau mungkin memang tidak pernah? Entahlah.

Ruangannya tidak begitu berantakan. Syukurlah. Di sudut ruangan ada meja dan kursi kerja. Diatas meja ada berkas-berkas yang bertumpuk. Di sisi kanan ada perpustakaan Papa. Buku-bukunya banyak banget. Di pojok kanan ada sofa berwarna merah maroon.

Aku berjalan kearah meja dan merapikan berkas yang sedikit berantakan. Lalu mengelap bingkai foto yang bertengger manis diatas meja kerja Papa. Disana ada Mama, Papa, aku dan si cunguk Brian. Ini foto liburan di Paris. 3 tahun lalu.

Setelah meja itu rapi kaki ku melangkah ke sisi kanan menghampiri rak buku Papa. Aku menyusun buku-buku yang mulai berantakan dan keluar dari jajarannya.

Tiba-tiba tanganku menarik buku di rak paling atas. Ingat kan kaki ku tidak terlalu panjang atau lebih gampangnya kalian sebut saja pendek. Jadi untuk merapikan buku di rak teratas aku perlu berjinjit. Dan tidak sengaja tanganku menjatuhkan salah satu buku itu. Bukan salahku kan.

Aku memungut buku itu berniat untuk mengembalikan ke tempat semula. Dan saat buku itu berada di genggaman tanganku tiba-tiba saja perhatian ku terpusat pada kertas yang menyembul dari dalam buku itu.

Aku menarik kertas itu. Membaca serangkaian huruf yang membentuk kata. Deretan kata yang membentuk kalimat. Dan jajaran kalimat yang membuat satu kesatuan paragraf.

Hingga mataku menemui titik terakhir di barisan kata itu, kaki melemas dan tubuhku luruh ke lantai.

Ceklek.

"Kak?" Kepala Brian menyembul dari balik pintu.

Aku mengusap sisa air mata dengan punggung tanganku. Lalu berdiri dan meletakkan buku itu di tempatnya, tapi kertas itu masih tergenggam erat di tanganku. Aku berjalan mendekati Brian.

"Dek, kakak pergi dulu ya. Bilang sama Mama kalo kak Kay udah selesai beresin ruangan Papa. Kak Kay mau ke tempat Kak Gea dulu." Aku berjalan melewati Brian.

Aku berbohong. Mana mungkin aku ke tempat Gea. Tidak dengan muka menyedihkanku. Lalu aku harus kemana? Siapa yang dapat menjelaskan ini? Siapa yang bertanggung jawab untuk semua hal yang menimpaku? Siapa yang harus aku maki untuk menyalurkan kemarahan ku?

Kaki ku tidak mau berhenti meski nafasku sudah terengah.

Sang surya sudah mulai turun dari takhta dan bersiap kembali ke peraduannya.

Aku menghembuskan napas pendek-pendek karena terengah. Kaki ku sudah lelah berlari. Aku terduduk di tepi jalan raya. Kaki ku tertekuk. Kedua lengan ku tertumpuk diatas lutut. Kemudian ku tenggelamkan kepalaku disana. Mencoba menyembunyikan kesakitan dari dunia.

"Kay?" Aku merasakan seseorang menyentuh pundakku. Tolong, jangan sekarang. Jangan ganggu aku.

"Kaynna?" Aku mendongak. Menatap Keynan yang sudah berdiri dihadapanku menghalangi tatapan ingin tau orang yang berlalu lalang.

"A-apa?"

Keynan tidak menjawab. Dia membawa ku kedalam pelukannya. Mengelus rambutku yang basah karena keringat.

"Tidak ada masalah yang selesai dengan kamu berlari. Kamu hanya akan kelelahan tanpa menemukan penyelesaian." Kata Keynan masih memelukku.

Aku sudah tidak peduli dengan tatapan orang-orang. Aku terus saja terisak. Rasanya air mata ini tidak ada niatan untuk berhenti mengalir.

"Ke-ey-Keynan?" Aku masih terisak.

"Kamu bisa berbagi masalah dengan ku. Apa kamu tidak mempercayai ku?" Keynan mengencangkan pelukannya.

"Berhentilah berlari. Anggap saja kamu seperti sedang bermain petak umpet. Tidak selamanya yang bersembunyi itu adalah pemenang. Bisa saja di satu waktu pemenangnya adalah dia yang berjaga lalu mampu menemukan semua yang bersembunyi. Dan untuk menjadi pemenang butuh usaha dan keyakinan." Oceh Keynan panjang lebar. Tapi kali ini aku setuju dengan kata-katanya.

Aku menarik diriku dari rengkuhan Keynan. Lalu menatapnya lama. Keynan menaikkan sebelah alisnya.

Berhentilah berlari.

Aku menyerahkan kertas kumal yang tanpa sadar sudah aku remas sejak aku berlari tadi.

Keynan mengambilnya. Lalu membacanya ragu-ragu.

'Kak Bimantara, tolong maafkan jika saya sudah membuat malu keluarga. Tolong bantu saya untuk yang terakhir kali kak. Saya ingin menitipkan putri saya pada kakak. Maaf jika dia nantinya merepotkan kakak dan kak Tiana. Tolong beri nama Vefara pada belakang namanya. Aku akan pergi seperti Veri kak, mungkin tujuan kepergian kami akan berbeda. Ku mohon jaga rahasia ini dari putri ku kak. Terimakasih.' ––Farah

---

A/N

Nepatin janji 4k update. Thanks readers. Buat chap 18 minta 5k kalo bisa. Aku harap si kalian bisa. Bahkan aku yakin kalian pasti bisa!!

Semakin cepat sampai 5k aku semakin cepet update. Ayo ajak teman2 kalian buat baca KEY FOR KAY.

Huh, ini seperti sinetronT_T maafkan jika mengecewakan. Tolong jangan bosen dulu. Kisah ini masih panjang.
Makasih yang masih baca dan selalu dukung aku. Sarannya yaa, jangan cuma lanjut, next.. Yang jelek² gapapa deh, siapa tau bisa jadi motivasi. Asal jangan kasar², ntar aku sediiih-,-

Oke aku udah terlalu banyak ngomong!

Bagian mana yang kalian suka?

Vote! Comment!

Key for KayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang