The Promise

7.5K 679 39
                                    

Ruarr biasa, saya akhirnya bisa posting dalam waktu yang lumayan lama, haha

Thanks buat mamak bon cabe yang tidak pernah bosan mengkoreksi tulisan saya yang tidak seberapa, hhe

Tinggalkan jejak kalian juga

Enjoy it

***The Promise***

"Kak, apa daddy, mommy dan Isaac akan baik-baik saja?" Rayne memeluk pinggang Marvin erat.

"Tentu saja mereka akan baik-baik saja." Marvin tersenyum tipis. Menatap Rayne yang sudah bersiap untuk menangis lagi. "Kau jangan menangis lagi, Ray. Apa kau ingat apa kata-kata Daddy? Laki-laki tidak boleh menangis." Rayne mengangguk lemah. Kembali mengeratkan pelukannya pada pinggang Marvin.

Marvin khawatir, dia sudah menunggu ayahnya cukup lama di penampungan tapi belum ada pertanda ayahnya akan kembali. Marvin hanya bisa memejamkan mata, berdoa. Dia sudah tidak tahu apa lagi yang harus dia lakukan.

Suara langkah kaki terdengar, membuat gelisah mereka berdua. Beberapa orang hilir mudik mengangkut orang-orang yang baru saja dievakuasi. Seorang anak perempuan di sana menangis histeris. Gadis kecil itu menemukan Ayah dan Ibunya mati karena tertimpa bangunan.

Beberapa waktu yang lalu, kota Rio De Janeiro tampak indah dan menganggumkan. Gedung-gedung megah berdiri angkuh menantang langit. Mobil-mobil melaju di jalanan kota yang padat. Namun sekarang, gedung-gedung megah itu telah hancur, rata dengan tanah. Mobil-mobil berserakan, bergelimpangan memenuhi jalanan. Beberapa diantaranya tertimpa puing-puing bangunan.

"Kakak..." Suara serak Rayne kembali terdengar. Rayne sudah terjaga, mata sembabnya menatap Marvin lesu. "Kakak, bagaimana jika Daddy tidak kembali? Bagaimana jika—"

"Jangan bicara yang aneh-aneh!" Marvin setengah berteriak memotong ucapan adiknya. Kemudian menghela napas perlahan. "Maafkan aku, aku tidak bermaksud untuk membentakmu, aku-"

"Aku mengerti." Suara Rayne bergetar. Kembali memeluk Marvin. "Aku hanya khawatir pada mereka. Aku selalu percaya pada Daddy. Dia tidak mungkin membohongi kita. Iya kan?"

Marvin tersenyum takjim dengan kalimat yang diucapkan Rayne. Kalimat terbijak yang pernah adiknya katakan selain makian dan protesan.

"Awas!" Seorang pria besar berteriak. Seluruh penghuni penampungan melirik ke sumber suara. Menatap iba pada pria yang di bopong pria lainnya. Orang-orang menyingkir, memberi jalan tanpa perintah ketika pria besar itu kerepotan membawa seorang pria menuju tenda evakuasi.

"Daddy." Marvin bergumam. Melepaskan pelukan Rayne.

"Kakak..." Rayne menatap kakaknya bingung. "Ada apa?"

Marvin menggeleng, tersenyum tipis. "Tidak apa-apa. Aku hanya ingin mengecek sesuatu disana. Ray, aku ingin kau duduk disini sebentar. Aku harus-"

"Tidak."Rayne menggeleng. Menarik kemeja Marvin. Rayne ketakutan, dia tidak mau berpisah dengan Marvin. Tapi Marvin tidak mungkin membawa Rayne untuk melihat daddynya.

Marvin tidak ingin adiknya melihat daddy mereka terluka sebelum Marvin memastikannya.

"Ray..." Marvin berjongkok. Mensejajarkan tingginya dengan Rayne. "Aku tidak akan kemana-mana, aku hanya mengecek sebentar saja. Aku ingin tahu, apakah Daddy, Mommy dan Isaac ada disana."

Rayne masih menggeleng, tangannya semakin erat menarik kemeja kakaknya. "Tidak mau, aku ingin ikut kakak."

"Ray. Kau akan baik-baik saja disini. Aku janji padamu. Janji jari kelingking, kau ingat?" Marvin memperlihatkan kelingkingnya. "Janji yang tidak boleh diingkari, atau orang itu akan menyesal seumur hidupnya." Marvin tersenyum.

MISSINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang