The Truth

5.7K 561 120
                                    

Lihat bagaimana saya mampu menulis bagian ini dengan cepat, jadi, jangan lupa soal vote dan responnya

***The Truth***

Setiap hari, di minggu pertama, setelah kejadian di bukit Harbour, Marvin selalu berkunjung ke kediaman Damien, berniat meluruskan kesalahpahaman yang ada, namun sayang, Damien selalu tidak ada di sana.

Hari Senin pergi ke New Jersey, pemotretan. Itu yang dikatakan asisten rumah tangganya.

Ah, mungkin Damien benar-benar sibuk.

Hari berikutnya, Marvin kembali, membawa sebuket mawar putih, ingin tulus minta maaf, walaupun dirinya tahu, ini bukanlah kesalahannya, tapi demi menjaga tali pertemanan mereka, Marvin rela menjadi orang yang disalahkan, masih berniat untuk meluruskan kesahpahaman yang ada. Tak mau sekali jika dirinya dianggap menusuk teman dari belakang.

Jelas sekali Marvin bukan orang yang demikian. Bagaimana mungkin dirinya tega melakukan itu, menerima cinta Calvin, untuk menyakiti Damien. Marvin tidak sepicik itu, dia bukan serigala berbulu domba atau ular berkepala dua. Bilang manis seperti madu di depan orang kemudian menebar racun di belakang orang tersebut.

Marvin kembali menelan kekecewaan. Damien tidak ada di tempat, pergi ke Chicago selama seminggu, ada syuting iklan. Itu yang dikatakan asisten rumah tangganya setelah Marvin bertanya soal Damien.

Seminggu selanjutnya, gerimis membungkus kota New York. Marvin kembali, membawa sebuket bunga mawar putih. Berkunjung ke kediaman Damien. Kasihan sekali Marvin, harus kembali menelan kekecewaan. Orang yang hendak ia temui belum kembali, asisten rumah tangga Damienlah yang menyambut. Bilang soal, "Damien belum kembali selama seminggu, ada pemotretan dadakan di London."

Marvin hanya mampu menghela nafas, kembali menitipkan salam untuk Damien, lengkap dengan sebuket bunga putih miliknya. Asisten rumah tangga itu hanya mengangguk, menerima sebuket bunga pemberian Marvin, tersenyum miris. Iba sekali melihat Marvin yang selalu tidak dapat bertemu dengan majikannya.

Hari-hari berikutnya, Marvin selalu melakukan rutinitas yang sama, kembali ke rumah Damien, menelan kekecewaan yang berkali-kali lipat untuk setiap kedatangannya. Membuat sesuatu di dalam dirinya berdegup menyakitkan, untuk setiap kali Marvin tidak dapat bertemu dengan Damien.

"Apakah Damien benar-benar membenciku?" Marvin bergumam, tersenyum tipis pada asisten rumah tangga yang hanya menatapnya iba. Lantas balik badan, kembali pulang ke rumah. Berjanji pada dirinya jika hari berikutnya dia akan kembali, siapa tahu Damien sudah pulang.

Di hari berikutnya, ketika Marvin hendak keluar café, Clara marah-marah. Menghentikan langkah kaki Marvin dengan memeluk Marvin dari belakang. Erat sekali.

"Sudah cukup, Marvin. Sudah cukup, kau tidak harus pergi ke rumah si brengsek itu."

Sejak kejadian di mana Damien tidak mau menemui Marvin, membuat rasa kagum akan aktor terkenal itu luntur di pikiran Clara, hari demi hari, jam demi jam, menit demi menit, detik demi detik rasa kagum itu berubah benci, berkali-kali lipat untuk setiap Marvin kembali dari rumah Damien dengan tangan kosong. Bilang jika Damien tak ada di tempat. Mungkin sibuk dengan jadwalnya.

Persetan dengan semua jadwal yang dimiliki si brengsek Damien. Clara tahu betul jika pria sombong itu tidak mau bertemu dengan Marvin, terlalu pengecut sekali dia, tak mau mendengarkan kesalahpahaman yang ada.

Memikirkan hal itu membuat darah Clara mendidih, ingin sekali jika dirinya memukul Damien sampai masuk rumah sakit jika bertemu si brengsek yang sukses mematahkan hati sahabatnya.

Marvin enggan mendegarkan permintaan Clara, berusaha melepaskan pelukannya. "Tidak. Aku tidak mau kau pergi ke sana. Sudah cukup, Marvin." Clara terisak, air matanya kembali jatuh. Sedih sekali melihat sahabat baiknya tampak menyedihkan seperti sekarang.

MISSINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang