The Black Business

5.4K 476 69
                                    

Hey, akhirnya aku bisa menyentuh laptop dengan koneksi lagi setelah sibuk sekali dengan kegiatan di dunia real. Hehe

Aih, sedih sekali tiap baca komentar tentang ceritaku yang disama ratakan dengan sinetron, hahai, tapi masa bodoh dengan mereka yang beranggapan seperti itu. Itu hak mereka. Untuk berkomentar, yang aku tahu aku hanya menulis, menyalurkan hobiku.

Saya ucapkan terima kasih kepada para pembaca yang masih sempetin buat baca kelanjutan Missing, yang hanya update satu minggu sekali, seperti saya ini adaah penulis yang udah legend saja. Bukan maksud seperti itu, saya harus membagi waktu antara menulis dan kegiatan saya. Semoga kalian mengerti.

Saya tidak akan menagih minta vote atau respon lagi, jadi vote lah jika kalian suka dengan cerita ini. Atau responlah jika kalian ingin berkomentar. Oh iya, saya sangat berterima kasih kepada para reader yang sudah vote, kalian tahu, kalian yang membuat saya masih bertahan menulis di wattpad. Thanks

***The Black Business***

Diaz bergerak, melangkahkan kakinya panjang-panjang. Matanya waspada, menyisir jalan masuk menuju stasiun kereta bawah tanah kota Rio. Kamera kecil masih menggantung di lehernya, dengan tas pinggang kecil yang menempel.

Diaz melempar senyum pada setiap orang-orang yang berpapasan dengannya, dua-tiga orang tidak menggubrisnya. Terlalu terburu-buru menuju tempat tujuannya, atau sibuk dengan ponsel mereka. Pekerjaan yang memasuki deadline.

Malam ini Diaz harus menyelesaikan pekerjaan terakhirnya, setelah itu dirinya ingin pensiun saja. Ingin menjadi orang normal, membangun kedai kopi di pinggir jalan kota Rio dengan uang tabungan hasil kerja kerasnya selama bertahun-tahun. Dan yang lebih penting dari itu semua, Diaz ingin bertemu dengan kawan lamanya. Damien dan Calista.

Ah, berbicara soal Damien, Diaz jadi ingat dengan pria pirang jangkung bermata biru itu. Masih melangkah, Diaz mengelurakan ponselnya, mengamati nomor Calvin, hendak meneleponnya, kemudian urung, ketika mata Diaz terpaku pada petugas keamanaan stasiun yang sedang memeriksa setiap calon penumpang yang masuk.

Diaz mengumpat, kesal sekali terhadap orang bodoh yang menembak mati pria sebulan lalu –yang karena berkatnya, penjagaan stasiun menjadi sangat ketat.

Diaz memutar badan, mencari jalan lain untuk masuk ke dalam stasiun. Matanya jeli sekali mengamati sekitar. Namun sial, Diaz tidak menemukan jalan tikus lain. Akses ke dalam hanya ada satu, melewati petugas sialan itu.

Diaz melirik jam tangannya. 8. 45 P.M. Itu berarti dia hanya punya waktu 15 menit untuk menyelesaikan bisnis terakhirnya. Menemui seseorang untuk menyerahkan barang pesanannya. Sesuai janji bossnya, dia akan dibebas tugaskan jika berhasil menyelesaikan tugasnya.

Senyum menghiasi wajah Diaz, senang sekali dirinya membayangkan kehidupan bebas yang terenggut selama lima belas tahun bisa berakhir. Dirinya bisa kembali menemui Damien dan Calista tanpa khawatir ke dua sahabatnya itu akan bertanya perihal pekerjaannya.

Waktu yang dijanjikan semakin berkurang, Diaz tidak punya waktu untuk membayangkan mimpi indahnya. Percuma saja. Mimpi itu tidak akan terwujud jika dirinya gagal dalam misi terakhir.

Diaz mengedarkan pandangan, mencari celah, membuat strategi jitu untuk masuk ke dalam stasiun. Mengamati beberapa orang yang berlalu lalang yang sebagian besar sibuk dengan aktivitasnya masing-masing. Tampak tidak peduli sekitar.

"Sial. Tidak ada yang bisa di harapkan." Diaz mengumpat, kemudian tersenyum pada saat melihat seorang perempuan manula yang bersusah payah berjalan. Kasihan sekali perempuan tua itu. Berjalan tanpa ada yang peduli. Dampak dari masyarakat modern. Individualisme.

MISSINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang