The Feeling

7.7K 672 75
                                    


Hey, akhirnya saya bisa menyelesaikan part yang panjang ini setelah saya harus PP Jakarta-Sukabumi buat test *Eh gue curhat, gpp deh semoga di doian sama kalian semua, saya lolos test hihi. Amin. Semoga kalian ga bosen ya bacanya, huhu.

Pertama-tama saya ucapkan terima kasih buat mama bon cabe yang rela koreksi cerita diantara deadline skripsinya, terima kasih juga buat papa bon cabe yang sudah menyempatkan koreksi diantara jadwal koasnya yang sepadat jadwal kereta Jakartakota-Sudirman.

Makasih juga buat para pembaca yang masih mau baca cerita saya. Saya senang baca respon kalian. Bikin saya semangat buat tulis kelanjutannya. Ditunggu Responnya :D Vote kalo kalian suka

Enjoy It 

***The Feeling***

"Marvin!!!" Damien berteriak murka ketika bokongnya mencium lantai akibat dorongan Marvin yang tiba-tiba. Apalagi si pelaku yang membuat Damien murka telah kabur meloloskan diri. Damien mengumpat kesal.

Ia berusaha berdiri, berusaha meredam rasa sakit di bokongnya. Marvin memang sialan. Menyakiti salah satu aset penting Damien. Dan itu berarti dia hampir menghancurkan persembahan berharganya untuk Calvin nantinya. Seorang top seperti Calvin pasti akan tergoda melihat bokong seksi milik Damien. Damien tak keberatan harus jadi 'kuda' untuk Calvin meski tak pernah lubangnya diterobos. Tapi jika itu untuk orang yang dicintai, apapun bisa dilakukan, kan?

Damien bergerak, menyeret kakinya perlahan. Satu tangannya berada di pinggangnya, sekarang rasa sakitnya telah menjalar ke pinggang.

Tangan Damien yang bebas, meraih grendel pintu, memutarnya. Pintu hanya terbuka sedikit kemudian menutup kembali. Seperti ada sesuatu yang mengganjal di belakangnya.

"Sialan! Apa yang kau lakukan di sana, Hah?! Jangan menghalangi pintu, dasar pengecut! Kemari kau! Minta maaf padaku!" Suara Damien kembali mengudara, menggema di seluruh kamar. Kemudian Damien mengumpat, mengutuki Marvin dengan sumpah serapah dan memilih bergerak mundur.

Damien menendang pintu dengan kekuatan penuh. Namun, detik berikutnya ia berteriak kesakitan sambil melompat-lompat dengan kaki kanannya sementara jempol kaki kirinya terasa berdenyut sakit.

Damien bertindak bodoh, menendang pintu hotel yang keras dengan kaki telanjang. How stupid he was.

Rahang Damien mengeras, giginya gemeretakan menahan marah. "Marvin buka pintunya dalam hitungan ketiga! Atau aku akan membuatmu menyesal!"

Damien mengancam, ancaman yang sebenarnya sia-sia karena ruang kamarnya kedap suara. Damien melupakan fakta ini karena terbutakan amarah yang sudah mendidihkan darah di kepalanya.

Damien bergerak mundur. Memberi jarak yang cukup. Rencananya mudah, dalam hitungan tiga dia akan berlari dan menabrakan bahunya ke pintu setelah memutar grendel.

"Satu...." Damien berteriak, memasang kuda-kuda. Kaki kanannya di depan.

"Dua...." Tidak ada respon dari Marvin, pintu masih tertutup.

"Tiga!!!" Damien berlari, memutar grendel, dan menabrakan bahunya ke pintu.

Pintu terbuka dengan badan Damien yang nyaris menabrak pintu kamar di depannya.

"Kemana si sialan itu?!" Damien semakin geram mendapati lorong hotel tampak lengang. Sama sekali tidak ada petunjuk dimana Marvin berada.

Mata Damien melotot, menyisir lorong mewah yang panjang. Berharap jika Marvin sedang bersembunyi. Mengingat Marvin keluar dengan keadaan setengah telanjang. Tidak mungkin pria itu jauh dari kamar. Damien yakin, Marvin bersembunyi di suatu tempat.

MISSINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang