Syafa pov
Tanpa menghiraukan hiruk pikuk yang terjadi di bawah, aku tetap memainkan jari2ku di atas tut piano ini. Aku tau dia sudah datang, semakin memikirkannya, pikiranku kembali tak tenang.
Ya tuhan, kalau dia memang terbaik, berikan kemudahan dan ketenangan pada hamba, rapalku dalam hati.
"dek.... di panggil papa, di suruh kebawah. Tamunya sudah datang." Aku menghentikan permainan pianoku. Menghadap kearah bang irfan.
"Apa dia baik untuk syafa?" Tanyaku, bang irfan mungkin tau kekalutanku. Menarik ku kedekapannya, mengusap punggunggu pelan.
"Dia sahabat abang, selama abang mengenalnya, dia orang yang baik, sangat menyangi keluarganya. Abang percaya padanya. Jadi adek kecil yang sebentar lagi jadi istri orang, sekarang ikut abang kebawah." Bang irfan menarik tanganku pelan.
"Abah... adek pengen abah." Ujarku cepat.
"Baiklahh... kalau gitu maunya adek. Abang panggil papa dulu ya." Bang irfan mengusap kepalaku pelan, dan meninggalkanku.
Tak lama berselang, abah datang. Aku sedikit meringis, pasti beliau marah.
"Sekarang apalagi dek, jangan membuat tamu mu menunggu." Aku menarik lengan abah, menuntunnya untuk duduk di sampingku.
"Syafa tau, maaf. Abah tau kan, syafa menyayangi abah lebih dari apapun di dunia ini. Maka dari itu syafa menyerahkan segala macam urusan syafa di tangan abah, bagitu juga dengan yang ini. Syafa menyerahkan keputusan lamaran ini di tangan para lelaki di keluarga ini." Abah menarik napas, mendengar penuturanku.
"Dek... ini menyangkut masa depanmu sweetheart, kamu yang mengambil keputusan."
"Syafa tak akan ragu lagi kalau abah dan abang2 yang mengambil keputusan. Syafa hanya ragu pada diri syafa sendiri. Kali ini abah, kali ini, ambillah keputusan untuk masa depan syafa. Apapun itu keputusan abah, syafa yakin demi kabaikan syafa."
"Baiklah. Tapi 5 menit, eh tidak 10 menit lagi kamu HARUS turun. Temui mereka, tidak baik mengabaikan tamu. Oke??" Abah Menekankan kata harus, itu berarti gak ada bantahan.
"Promise."
Abah melangkah keluar, melihat kearah jam di dinding. 10 menit bukan waktu yang sebentar, aku buru2 berlari kearah kamar. Aku yakin, sangat. Mereka akan menerima pria ini, sahabat abang2ku, mengenal abah dan bunda itu sudah pasti. Berdandan versi ku tak akan memakan waktu banyak, hanya baby powder dan sedikit lipblam baby pink.
Aku kembali melirik jam di dinding kamarku, sudah saatnya untuk turun. Kulangkahkan kaki ku setapak demi setapak, sampai di ujung tangga aku berhenti untuk sekedar menarik nafas. 'Ayo syafa, ini kemauan kamu kan' ucapku dalam hati.
Kulihat abang menyentuh pundak seorang laki2. Apa yang mereka bicarakan? Tanyaku dalam hati. Bang irfan memandang ke arahku, terseyum. Seandainya aku bukan adeknya, mungkin aku sudah lumer melihatnya tersenyum manis.
Semakin dekat, jantung berdetak gak karuan. Apa aku terlalu gugup atau aku punya penyakit jantung, oh tidakkk.... sepertinya aku besok harus memeriksakan jantungku. Tanpa menghiraukan pria tadi, aku melangkah pelan melewatinya tanpa menoleh sedikitpun.
"Assalmu'alaikum."
Wa'alaikum salam jawab mereka serentak, mereka menoleh ke arahku.
"Maaf.... syafa baru bisa turun, om tante."
"Oh tidak apa2 nak, jangan manggil om tante lagi, manggil mama papa. Kan sebentar lagi nak syafa jadi menantu mama." Ujar wanita paruh baya, memeluk ku hangat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Suami Pilihan
General FictionKetika takdir berkata lain, di situlah cinta hanya jadi omong kosong baginya. Karena takdir memainkannya hingga ke titik dimana ia kehilangan apa yang dia sebut sebuah harapan.