Syafa POV
"Aku rasa kita tak bisa melanjutkannya syafa, tanda tangani." Mas azzam menyerahkan pulpen untuk ku tanda tangani.
"Kasih aku satu alasan, hanya satu alasan." Dadaku bergemuruh, marah, kecewa, sakit hati. Rasanya dadaku sesak, ingin sekali aku berteriak. Tapi di depan suami yang aku hormati, suami yang tiba2 memberikan surat cerai tanpa aku tau apa kesalahanku. Apa yang aku harapkan? Tidak ada
"Aku tak mencintaimu lagi, apa itu cukup?" Duniaku benar2 runtuh kali ini, dia menikahiku karna terlalu mencintaiku, terlalu takut aku menikah dengan orang lain, lalu sekarang? Dia bilang dia tak mencintaiku dengan gampang.
"Tapi sebelum itu, aku meminta hak ku, sebulan ini mas belum menunaikan kewajiban mas untuk menafkahiku." Ujarku, tidak sebenarnya, itu hanya alasan agar dia menciumku untuk terakhir kalinya, hanya terakhir kalinya.
"Kau ingin menjebakku syafa." jawabnya dingin.
"Tidak, pantang buatku menjebakmu mas, akan aku tanda tangani surat itu setelah mas memberikan nafkah batin padaku." Desak ku.
"Tidak."
"Maka jawabanku juga tidak mas."
"Aku akan menjatuhkan talak."
"Secara agama memang kita bukan suami istri, secara hukum kita masih sah."
"Kau mengancamku syafa."
"Keuntungannya? Tidak ada, aku hanya meminya hak ku. Setelah itu jatuhkan talak dan aku akan menandatanganinya." Mas azzam berdiri dari tempat duduknya, menarik ku keras, menyeretku ke kamar yang selalu kami sebut kamar kami. Dia menarik jilbabku hingga leherku berdarah tertusuk peniti, manarik paksa bajuku. Tak ada kelembutan disana, ada sedikit memar. Ketika dia akan menarik pakaian dalamku, ku tepis tangannya.
"Terima kasih." Ujarku lemah, dia memperlakukanku seperti itu, tidak sepantasnya berbuat seperti itu, aku masih istri sahnya.
Berjalan ke arah lemari tempat baju, tidak banya yang aku masukkan ke koper, hanya beberapa baju yang ku bawa dari rumah dulu. Tak ada tangis, rasanya air mataku memang kering, meskipun dadaku sesak, tak lantas membuatku meneteskan airmata.
"Sekarang, jatuhkan talakmu mas, setelah itu akan aku tanda tangani suratnya di bawah. Jangan mempermasalahkan harta gono gini, jangan memberikan tunjangan apapun itu, jangan memberikan apapun padaku, apapun." Aku menatapnya lekat, aku memegang erat pegangan koper, berharap pegangan koper itu mampu menyanggah berat badanku.
"Aku menjatuhimu talak, dengan talak satu." Rasanya jam berhenti berdetak, rasanya aku kesulitan bernafas.
Tersadar dari apa yang aku alami, ku langkahkan kaki ku menjauhi mas azzam yang masih berdiri di tempat yang sama seperti pertama kali menginjakan kakinya di kamar.
Rumah ini, aku menyentuh lembut pintu yang akan mengantarkanku keluar dari rumah kami. Di saat aku membuka pintu, mas azzam menarik ku.
"Ini rumahmu, sebaiknya aku yang pergi." Ujarnya lembut, ku lihat matanya memerah.
Aku memandang tangannya yang masih memegang tanganku.
"Aku bukan lagi muhrimu mas yang bisa seenaknya mas pegang sesuka hati. Dan tidak terima kasih, ini memang mahar yang mas berikan, tetapi tidak." Aku menarik tanganku, berbalik. Menyetop taksi yang kebetulan lewat di depan rumah, setidaknya aku bersyukur.
Tidak, aku tidak menoleh sedikitpun ke belakang, beberapa jam yang lalu tempat itu ku anggap masa depan yang akan memberikan kebahagiaan, itu beberapa jam yang lalu, bolehkah aku menyebutnya masa lalu meskipun hanya berbeda jam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Suami Pilihan
General FictionKetika takdir berkata lain, di situlah cinta hanya jadi omong kosong baginya. Karena takdir memainkannya hingga ke titik dimana ia kehilangan apa yang dia sebut sebuah harapan.