Maafin daku ya temen2 kelamaan updatenya, lagi parah2nya morning sickness.
So enjoyyy
Hamil anak kembar membuatku kesulitan bergerak, mama yang selalu mendampingi aku setiap saat, bahkan mama tidur denganku walaupun beribu2 kali aku menolaknya untuk menemaniku tidur, kasihan papa yang tidur sendirian.
'Mama sama papa sudah tua buat program anak, jadi gak ada ceritanya tiap hari indehoy.' Alasan mama setiap aku memintanya untuk tidur dengan papa.Sedikit terbantu dengan kecerewetan mama yang melarangku untuk berjalan lebih dari tiga langkah, apa2 mama yang ngambil, mama yang nyiapin, asisten rumah tangga pun kena imbasnya, harus membersihkan kamar mandiku tiap hari, padahal seminggu sekali gak masalah, tapi karena takut terpeleset jadilah mama ngomel ke asisten tiap hari. Sedikit kasihan dengan asisten yang mama marahin, tapi mau gimana lagi nyonya besar sudah berkehendak.
Memasuki bulan ke sembilan mama kembali mendekor kamar di sebelah kamarku, sekalian membuat conecting door agar bisa memudahkanku untuk menjenguk mereka. Mainan2 untuk anak kecil sudah tertata rapi, baju2 lucu, padahal kami belum tau jenis kelaminnya, sekedar suprise tar. Dan itu semua mama yang nyiapin, aku hanya tinggal ngeden aja.
3 hari sebelum tanggal prediksi si debay lahir, mama sudah membawaku ke rumah sakit, buat jaga2 katanya taku mundur atau maju lahirannya tar.
"Ma.... syafa gak bakalan lahiran minggu2 ini, percaya deh." Aku berusaha membujuk mama untuk tidak membawaku ke rumah sakit.
"Syafa.... gak ada ceritanya kamu gak bakal lahiran dalam minggu2 ini, ini dalam perut kamu isinya dua lhoh bukan satu, kalau satu mama gak parno2 banget. Jadi gak ada penolakan kita berangkat ke rumah sakit sekarang juga. Papa sama alvin sudah di depan." Keputusan mama mutlak gak bisa di ganggu gugat.
"Kalau syafa gak lahiran 3 hari lagi gimana? Masak mama, papa sama alvin nungguin syafa berhari2." Aku mencoba membuat alibi, yang sedikit masuk akal.
"Mama gak masalah, sebulan pun mama jabanin, mama sudah minta kamar VVIP, ada tempat tidur buat yang nungguin, kamu gak usah kawatir." Mama menuntunku, karena yaaahh perut yang besar banget sampe2 aku gak tau gimana keadaan jari2 kakiku, aku gak bisa melihat mereka dari kehamilanku memasuki 7 bulan.
Dan disinilah aku, di kamar rawat. Seperti kata mama VVIP, persis banget kayak rumah dalam bentuk mini, ada lemari dua pintu, meja, sofa, kamar mandi, kulkas yang di isi aneka buah, dan yang pasti tempat tidur 2. Ini sudah hari ketiga, dan aku biasa2 aja, kecuali bosen. Gak ada tanda2 aku akan melahirkan, dokter malah berniat buat suntik entah apa namanya, tapi aku gak mau. Operasi sesarpun dokter saranin, dan lagi2 aku menolak. Karena aku tau mereka masih nyaman di dalam sana, yang aku yakin 2 minggu lagi baru mereka lahir dan itu artinya tepat 10 bulan sama sepertiku dan syifa.
"Tar anaknya mau kasi nama siapa fa?" Itu alvin yang tanya, aku udah nyiapin dua nama cewek dan cowok masing2 dua.
"Sudah al, masak iya udah mau lahiran gak nyiapin nama."
"Siapa2? Kasih tau kita2 dong." Ujarnya bersemangat.
"Kalau cewek aku namain Asyifa Lugina rosalina azzam sama syafaratu rosalina azzam. Kalau cowok agak apa yaaa panjang, nama yang pernah abah minta muhammad rafa azkatullah azzam sama muhammad rasya al fawaid azzam." Sebenernya gak mau nyantumin nama ayahnya tapi mereka tetep anak azzam.
"Kamu gak apa2 nyantumin nama ayahnya?" Tanya papa.
"Azzam tetep ayahnya bagaimanapun keadaan kami, syafa akan menyingkat nama belakang mereka dan kemungkinan gak untuk umum nama belakangnya, entahlah syafa bingung pa."
"Kamu bener, mereka tetep anak azzam. Yang papa tanyain kamu, perasaan kamu." Jelas papa. Perasaanku?? Tidak ada yang salah, aku sudah tidak pernah satu kalipun memikirkan laki2 itu.
"Syafa gak masalah. Tapi yang jadi kepikiran sekarang ayah mereka." Aku mengusap pelan perutku. "Kami berpisah karena ketidak percayaan dia sama syafa, keraguan dia, syafa gak mau dia masalahin anak2ku, dia boleh tidak mengakui mereka tapi tidak untuk melakukan tes DNA, itu akan melukai mereka pa." Aku menangis lirih, mama langsung memelukku, mengusap punggungku pelan. Cukup aku, cukup aku yang dia lukai jangan anak2 ku. Tangisku semakin jadi, seakan flasback ke hari dimana dia memintaku menanda tangani surat perceraian.
"Kami menyayangimu adik kecil, jadi apapun tindakan dia, yang harus dia langkahi dulu mayat kami semua, tidak akan aku biarkan mereka menyakiti anak2 ku." Jangan heran alvin memanggil mereka anak2 ku, karena memang sejak awal dia yang akan jadi daddy mereka, sosok daddy yang akan dia butuhkan setelah ini. Aku tersenyum, pria cantik ini, entahlahhh apa yang harus aku katakan tentang dia, selain he's the good man I ever met.
Seketika aku merasa perutku mules, dan rasanya sakit sekali. Aku menjerit keras, saat merasa dorongan keras, keringatku keluar deras, padahal ruangan ini di lengkapi AC.
"Alvin, panggil dokter." Teriak papa, mereka semua panik, mama mengusap2 perutku pelan. aku menarik nafas pelan, dan menghembuskannya. Setelah tenang, barulah tim dokter baru datang. Dokter yang di pilih perempuan semua, jadi gak ada yang namanya malu nanti.
Selesai memeriksaku rombongan dokter keluar dari ruang rawatku. "Kontraksi menjelang melahirkan, akan sering terjadi bu. Ini masih pembukaan 3, masih lama, kemungkinan besok sore kalau gak malemnya baru melahirkan. Jadi dek syafa jangan ngedan dulu yah, di tahan. Tunggu pembukaan sepuluh." Itu kata dokter tadi.
Dan sekarang mama mulai ceramah panjang lebar. " mama sudah bilang apa, kalau kamu kayak gini di rumah gimana, ini di rumah sakit, semuanya sudah panik tadi."
"Tadi cuma kontraksi biasa ma, mama berlebihan banget deh." Belaku.
"Kamu tuh ya, mama bilangin malah ngeyel." Aku mengusap lengan mama pelan.
"Syafa gak apa2 ma, semuanya baik2 aja. Kata dokter juga kondisi syafa sangat baik buat melahirkan normal, mereka juga sehat." Aku mengusap perutku pelan, merasakan pergerakan mereka merupakan kebahagian tersendiri, walaupun terkadang memang sakit tapi aku menikmatinya setiap detik.
Hari terus berganti dan tanda2 melahirkan masih belum ada, kata dokter masih pembukaan 5, memang agak lambat tapi semuanya baik2 saja dan lumrah.
Di saat hanya ada aku dan alvin, kontraksi yang aku alami semakin sering dan itu pertanda aku akan melahirkan. "Al... mama kok belum dateng yah?" tanyaku sambil terus mengusap perutku.
"Mama baru nyampe di rumah fa, kenapa?" Alvin mengangkat wajahnya dari dokumen yang sejak tadi dia baca.
"Kayakna mereka sudah mau keluar deh." Ujarku pelan, takut alvin panik. "Jangan panik, aku bisa tahan kok, kamu manghil dokter yahh."
"Jangan gila syafa, lagi gak ada orang, gak mungkin aku ninggalin kamu gitu aja. Sebentar aku telfon aja." Merogoh saku celana bahannya.
"Saya alvin, wali dari syafa. Sepertinya syafa akan melahirkan dokter." Ujarnya mencoba menjelaskan, aku sedikit tertawa, baru kali ini alvin bahasa formalnya belepotan.
"........"
"Baik dok."
Rombongan dokter dan perawat datang lima menit kemudian, melihat dokter yang memeriksaku, alvin tambah panik. Di tangannya menggenggam hp, mencoba menghubungi mama sama papa mungkin.
"Pak alvin, nyonya syafa sudah siap untuk melahirkan, kami akan membawanya ke ruang bersalin." Alvin hanya mengangguk.
Di ruang bersalin, di tengah2 persalinan banyak sekali berkelebat berbagai macam dalam fikiranku. Ketakutan akan kematian membuatku semakin tak konsentrasi pada persalinan."Dokter.... tolong.... alvinnn...." ujarku terpotong2, aku membutuhkannya, setidaknya aku tak sendirian menghadapi ini.
Alvin datang dan langsung menggenggam tanganku, membacakan berbagai macam do'a, sampai akhirnya yang ku dengar tangisan bayi.
"Sekali lagi syafa, setelahnya kamu boleh istirahat."
Kali ini tak selama yang pertama, satu kali tarikan nafas, tangisan anakku terdengar lagi.
"Mereka sehat, istirahatlah." Bisik alvin di telingaku.
Menghembuskan nafas pelan, menenangkan diri, ku dengar sayup2 kumandang adzan, suara alvin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Suami Pilihan
General FictionKetika takdir berkata lain, di situlah cinta hanya jadi omong kosong baginya. Karena takdir memainkannya hingga ke titik dimana ia kehilangan apa yang dia sebut sebuah harapan.