Untuk temen2 yang sudah vote terima kasih banyak, pokoknya terima kasih. Gak nyangka ceritaku dapat apresiasi dari kalian, sekali lagi terima kasih. ^.^
Ini sudah sebulan penuh azzam mendiamkan syafa, tidak makan di rumah, berangkat pagi sekali dan pulang larut malam, bahkan azzam sudah tidak pernah tidur di kamarnya. Dia merasa tertipu, syafa wanita yang selalu dia anggap sebagai malaikat, ternyata bejat, kelembutan hatinya, halus tutur katanya, dan jilbab yang syafa gunakan Hanya untuk menutupi kebejatannya.
Jahat memang, tapi azzam tak peduli, dia dan keluarganya merasa di bohongi, menikahi gadis??? Cih, bahkan keperawanan bisa di beli ujarnya dalam hati. Tidak ada yang salah memang, seharusnya syafa jujur sejak awal, mengetahui dari orang lain, dan bukti bahwa dia tidak akan bisa hamil, azzam anak laki2 satu2nya otomatis dia membutuhkan keturunan untuk melanjutkan perusahaan ayahnya kemudian hari, A Corp butuh penerus, dan kalau tetap bersama syafa, azzam pikir dia selamanya akan hidup berdua selamanya.
AZZAM POV
cinta??? Hanya masalah hormon yang berlebihan, sehingga membuat orang yang merasakan debaran itu menyebutnya dengan cinta. Tapi sekarang, aku tak memiliki perasaan itu lagi, terlebih terhadap istriku sendiri, syafa. Fakta yang aku tahu sebulan yang lalu. Membuatku enggan hanya untuk melihatnya, nama syafa sudah tak ada lagi.
Flasback.
"Azzam, bisa kita bicara berdua saja?" Ujar dokter cindy, dokter sekaligus sahabatku dari kecil. Aku mengangguk, dan meminta syafa untuk menunggu di luar.
Setelah syafa menutup kembali pintu ruang periksa cindy. Cindy langsung mengintrogasi.
"Kamu yakin menikahi seorang gadis?" Aku mengerutkan alisku, tak mengerti. Tentu saja aku menikahi seorang gadis, apalagi dia baru berumur 16 tahun saat ku nikahi.
"Istrimu, dari hasil pemeriksaanku tadi, maaf sebelumnya zam, pernah melakukan aborsi, rahimnya rusak, kemungkinan besar kalian tak akan memiliki keturunan." Jelasnya. Seketika duniaku berubah gelap, aborsi? Apa syafa sekejam itu? Banyak pertanyaan2 dalam otakku berkelebat, apa, bagaimana, mengapa.
"Aku tahu kamu mencintai gadis itu sejak lama, tapi perusahaan ayahmu membutuhkan penerus zam." Cindy memegang tanganku, mencoba menenangkan. cindy benar perusahan butuh penerus. "Terus bersama gadis polos yang sebenarnya tak polos, tak akan mendapatkan apa2. Dia, gadis itu sudah membohongi kamu dan keluarga besar kamu, mungkin keluarga besarnya tak tau kelakuan anak gadis mereka satu2nya di luar rumah, apalagi dia sering keluar kota kan? Ikut olimpiade ini dan itu, bukankah itu waktu yang pas untuk berbuat hal2 yang tidak senonoh. Aku ngomong kayak gini bukan maksud untuk menjelek2an istrimu." Aku membenarkan semua yang cindy katakan, syafa sering ikut olimpiade yang mengharuskannya pergi dari rumah.
"Tidak, kamu benar cin. Aku pulang dulu." Di luar ruangan syafa langsung berdiri melihatku keluar, senyumannya yang selalu membuatku tenang, sekarang terkesan menjijikkan.
Flasback off
Seminggu ini ku lihat dia tertidur di sofa ruang tengah, mungkin menantiku, peduli apa aku, rasa sakit di badannya tertidur di sofa tidak sebanding dengan yang apa aku rasakan, bukan tak kasihan melihatnya seperti itu, tapi selalu ku tepis, Kesalahannya sangat fatal, aku manusia biasa, bukan manusia berhati malaikat. Mengingat dulu aku begitu memujanya setengah mati, menganggapnya malaikat tanpa sayap, sedikit menyesal. memang penyesalan selalu datang di akhir. Sedikit banyak aku merasa untung dengan umur pernikahan kami yang hanya 16 bulan.
Ku pegang surat perceraian yang di berikan pengacara keluargaku, tekatku sudah bulat, menceraikannya adalah salah satu jalan keluar yang baik. Aku yakin papa pasti sudah tau.
Pintu kantorku terbuka kasar, ku lihat papa dan mama berdiri tegak di depanku. "Jelaskan, apa maksudmu dengan menceraikan syafa, azzam?" Ujar papa dengan nada tinggi.
"Ini masalah kami pa, biarkan kami yang menyelesaikannya." Jawabku.
"Menyelesaikannya dengan bercerai azzam?" Memelankan suara, tak ingin terpancing emosi seperti papa.
"Hanya ini jalan satu2nya pa." Ujarku frustasi.
"Masalahnya apa? Sampai harus bercerai?" Tanya papa mencoba menahan emosinya.
"Azzam gak bisa ngasi tau. Biar ini jadi rahasia kami berdua."
"Tak bisakah kalian memikirkannya kembali? Perceraian itu di perbolehkan azzam, tapi hal paling di benci Allah nak."
"Azzam tau ma, azzam hanya minta dukungannya ma, minta doanya. Azzam tau apa yang azzam lakukan ma, azzam sudah dewasa untuk mengambil keputusan seperti ini."
"Bagaimana dengan nak syafa?" Pertanyaan bunda membuatku terdiam, aku belum menyerahkan berkas ini untuk di tanda tangani, dan dia tak tau apa2, ini keputusan sepihak tanpa melibatkannya.
Setelah menenangkan papa yang masih emosi, pada akhirnya papa mengalah, beliau menyetujui apapun keputusanku. Dan berharap aku tak menyesal di kemudian hari, tidak akan jawabku dalam hati.
Hari aku pulang cepat, jam 3 sore aku sudah berada di rumah, dengan memantapkan hati, aku keluar dari mobil dan tak lupa dengan amplop coklat dari pengacaraku tadi. Seperti biasa setiap aku pulang jam 3 sore selalu di sambut dengan aroma makanan yang menggugah selera, syafa istri yang sempurna, tapi satu lagi tidak ada yang sempurna.
"Mas sudah pulang?" Syafa meraih tas ku, dan mencoba mencium tanganku, tapi lagi2 ku tepis. Senyum yang sajak tadi merekah, surut. Terluka, itu yang ku lihat di matanya.
"Bisa kita bicara?" Ujarku meninggalnya ke ruang tamu tanpa mendengarkan jawabnnya.
Di ruang tamu, dia memilih duduk di depanku. pilihan yang tepat.
"Ini." Aku menyodorkan amplop coklat yang berisi surat perceraian.
"Apa ini mas?"
"Buka." Perintahku.
Melihat isinya setetes air mata jatuh, syaafa langsung menghapusnya, begitu seterusnya.
"Mas." Aku menatapnya dingin, tak ada rasa iba sama sekali di hatiku. "Surat perceraian. Maksudnya apa?" Tanyanya di sela2 air matanya yang terus menangis, untuk ukuran gadis 17 tahun, dia patut di acungin jempol. Menahan tangis, dan membiarkannya hanya setetes yang jatuh.
"Aku rasa kita tak bisa melanjutkannya syafa, tanda tangani." Aku menyerahkan pulpen di saku jas ku.
"Kasih aku satu alasan, hanya satu alasan." Tak ada lagi air mata yang jatuh, tapi matanya tak bisa berbohong, marah, terluka, kecewa, sedih, bercampur aduk disana.
"Aku tak mencintaimu lagi, apa itu cukup?" Jawabku sekenanya, sedikit meraba kedalam hatiku, apa kekecewaanku terlalu dalam sampai aku sediri tak tau bagaimana perasaanku sekarang.
"Tapi sebelum itu, aku meminta hak ku, sebulan ini mas belum menunaikan kewajiban mas untuk menafkahiku."
"Kau ingin menjebakku syafa." Ujarku dingin.
"Tidak, pantang buatku menjebakmu mas, akan aku tanda tangani surat itu setelah mas memberikan nafkah batin padaku."
"Tidak."
"Maka jawabanku juga tidak mas."
"Aku akan menjatuhkan talak."
"Secara agama memang kita bukan suami istri, secara hukum kita masih sah."
"Kau mengancamku syafa."
"Keuntungannya? Tidak ada, aku hanya meminya hak ku. Setelah itu jatuhkan talak dan aku akan menandatanganinya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Suami Pilihan
General FictionKetika takdir berkata lain, di situlah cinta hanya jadi omong kosong baginya. Karena takdir memainkannya hingga ke titik dimana ia kehilangan apa yang dia sebut sebuah harapan.