Menikah???? Hal yang sangat syafa hindari, membicarakan lagi dengan Alvin selalu membuatnya merasa bersalah, sudah terlalu lama ia menahan alvin berada di sampingnya tanpa ikatan apapun, alvin memang tak menginginkan hal lebih, cukup membiarkannya berada di sampingnya dia sudah sangat berterima kasih. Tapi berharap untuk menikahi pria itu adalah hal yang mustahil ia wujudkan, dia pria baik, sangat baik, bagaimana bisa ia meminta lebih, syafa tak ingin serakah. Membiarkan alvin menikah dengan orang lain yang masih single adalah hal yang tepat, walaupun ia tak setuju dengan pendapat dirinya sendiri, ia tak ingin kehilangan alvin.
"Berhentilah berfikir keras syafa, kamu hanya harus bilang iya. Dan alvin akan jadi milikmu." Syafa mengerang, siapa lagi sekarang. Dia benar2 butuh sendiri, benar2 sendiri, tanpa gangguan kakak iparnya atau kedua abangnya. Syafa cepat2 menoleh ke asal suara. Ia menatap tajam Vita.
"Aku ingin sendiri, please leave me alone." Pintanya pada kakak iparnya.
"Kamu tak butuh itu, yang kamu butuhin cuma satu, seseorang yang membenturkan kepalamu ke tembok untuk menyadarkan kamu." Jawab vita enteng, mau tak mau syafa membulatkan matanya.
"Kau ingin membunuhku?"
"Kalau di perlukan."
"Berhentilah menjadi orang menyebalkan, di rumah ini sudah banyak sekali orang2 yang sangat nyebelin."
mau tak mau vita tertawa keras, sahabatnya masih tak berubah, setiap orang yang menganggunya selalu di cap menyebalkan.
"Kenapa?" Syafa mengerutkan keningnya.
"Apanya yang kenapa?"
"Kamu tau maksudku fa, kenapa kamu gak mau menikah dengan alvin?"
Seandainya syafa punya sihir, ingin sekali ia mengutuk sahabatnya ini. Paling tidak membuatnya bisu.
"Berhentilah menanyakan hal itu". Syafa menatap kedepan, menerawang jauh.
"Kamu masih mencintai azzam."
"Tidak." Jawab syafa cepat.
"Lalu."
"Aku hanya merasa tak pantas. Dia pria baik, bersanding denganku? Bermimpi pun aku tak berani. Dia berhak mendapatkan yang terbaik. Dan itu bukan aku." Vita berdecak sebal mendengar jawaban syafa, dia memandang wajah syafa.
"Tapi kamu menahannya di samping kamu, jangan egois syafa. Kalau kamu memang tak berniat untuk serius dengannya, lepaskan. Biarkan alvin nyari seperti yang kamu inginkan. Jauhi dia, tolak, lakukan apapun sampai dia menjauh." Syafa menoleh protes, dia tak bisa. "Kenapa? Bukannya kamu tak menginginkannya." Syafa gelagapan, bukan seperti itu keinginannya. "Kamu terlalu memandang rendah dirimu sendiri. kamu orang paling baik yang pernah aku kenal, kamu juga berhak bahagia, anak2 juga begitu."
"Akan aku pikirkan." Jawab syafa sekenanya.
"Pikirkan baik2, kalau sampe aku dengar kabar buruk, siap2 kepalamu, aku yang akan menperbaiki tembok rumah ini kalau jebol." Ancaman vita membuat syafa meringis, dia masih sayang kepalanya.
Pagi ini syafa bener2 malas melakukan apapun, ia hanya ingin menghabiskan hari ini bergelung di tempat tidur. Tapi jam 10 nanti ia ada operasi, syafa menyeret kakinya kekamar mandi, ia mencuci muka dan bergidik ngeri melihat wajahnya sendiri. Kantung matanya terlihat jelas, mata merah, wajahnya sedikit pucat, tampak seperti zombi.
"Bundaaaaa..... bangunnnnn, di ajak sarapan sama oma. Bundaaa..." teriak syifa dari balik pintu kamar bundanya.
"Iya bunda nyusul." Syafa menepuk pipinya pelan.
Syafa berjalan pelan ke arah dapur, masih dengan baju tidur. Di meja makan kedua abangnya dengan istri mereka sudah rapi, kedua anaknya juga seperti itu, bunda dan abahnya juga. Syafa melihat dirinya sendiri, berantakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Suami Pilihan
General FictionKetika takdir berkata lain, di situlah cinta hanya jadi omong kosong baginya. Karena takdir memainkannya hingga ke titik dimana ia kehilangan apa yang dia sebut sebuah harapan.