Azzam POV
Dia selalu bisa membuatku kehilangan kata2, sama seperti tadi, mempersembahkan sebuah lagu untukku, lagu favoritku.
"mas melamun lagi?" Tanya syafa yang entah sejak kapan sudah duduk di sampingku.
"Gak." Kilahku.
"Gak salah maksudnya."
Aku menangkup wajahnya "mas sangat mencintaimu." Aku dekatkan wajahku, ku lihat syafa memejam matanya. Aku tersenyum, ini malam pertama kami. Ku kecup bibirnya yang tipis, hanya mengecup.
Dia membuka matanya, tersenyum. "Kamu gak menjawab."
"Hah?"
"Kamu gak menjawab pernyataanku."
"Oh. Aku...." Ku lihat dia bingung. Apa aku terlalu memaksanya, aku tau ini terlalu singkat untuknya, tapi bolehkah aku sedikit berharap dia menyimpan sedikit saja perasaan itu untukku.
"Aku mandi dulu." Berlalu dari hadapannya. "Tidurlah lebih dulu. Kamu pasti lelah dengan acara hari ini." Ucapku tanpa menatapnya, membuka satu persatu kancing kemejaku.
"Mas marah?"
"Gak, mas ngerti kita dekat juga dalam waktu yang sangat singkat."
"Aku menyukai mas, aku gak tau bagaimana rasanya jatuh cinta. Syafa buta tentang hal itu, mas laki2 asing pertama." Jelasnya. Aaahhhh.... aku gak berfikir ke arah situ, hanya fokus pada rasa kecewaku. Aku menghela nafas.
"Maaf, mas lupa kalau ini asing buat kamu." Dia hanya tersenyum. Terbuat dari apa hati gadis kecilku ini.
"Mandilah." Syafa mendorongku ke arah kamar mandi. " dan buka bajunya di kamar mandi, jangan di kamar." Hahahahah aku tertawa dari dalam kamar mandi. Dia polos sekali, bagaimana esok hari kalau menemukanku tidur dengan telanjang dada.
Keluar kamar mandi, ku lihat syafa sudah tertidur pulas, tanpa jilbab. Aku ikut berbaring di sampingnya, menariknya untuk ku dekap, ini kali pertama ku lihat wajahnya tanpa jilbab, dia memang cantik dari sananya. Dia menggeliat, mencari posisi yang nyaman. Dan sialnya di bawah sana juga ikut2an menggeliat, ohhh god its gonna long night. 'Syafa... kalau tidak berfikir kamu masih 16, mungkin sudah ku buat dia mendesah dari tadi.' Segera ku singkirkan pikiran jorok yang sejak kamaren merongrongku.
See... apa yang aku perkirakan tadi malam bener, dia berteriak sangat kencang, dan beruntung sekali kamar hotel ini di buat kedap suara, kalau tidak, aku yakin akan banyak orang yang datang.
"Berhentilah berteriak, ini masih sangat pagi syafa." Aku mencoba duduk, memicingkan mataku menyesuaikan lampu nakas yang menyala. Ku lihat dia membuang muka ke kiri menghindariku, aku terkekeh, gadis ini, ck.
"Mas... kenapa gak make baju?" Tanyanya tanpa melihat ke arahku.
"Mas biasa tidur gak make baju, jadi biasakan dirimu melihat mas gini. Kamu istriku, ingat kan?" Syafa mengangguk.
Syafa turun, berlari ke arah kamar mandi. Sekaluarnya dia dari kamar mandi, dia menggelar sejadahnya.
"Mas gak mau sholat malam?" Tanyanya yang masih bersandar di kepala tempat tidur. Aku menggeleng. "Karena ada syafa sekarang, biasakan sholat malam. Kalau takut kurang tidur, upayakan pulang kantor sebelum magrib, tidur sehabis isya. Jadi pas seperempat malem bisa sholat malam." Jelasnya sambil mengenakan mukenahnya. "Sekarang, cepet ambil wudhu, imamin syafa. Setelahnya kita sholat pengantin." Imbuhnya, ku lihat pipinya bersemu merah setelah mengatakan sholat pengantin. Ahhh.... gadisku, malu ternyata.
Baiklah dia kan yang meminta, bukan aku. Dengan semangat 45, aku berlari ke kamar mandi, gosok gigi dan ritual yang lainnya. Dan keluar kamar mandi, syafa sudah menyiapkan baju koko dan sarung.
Mengimami istri sendiri itu rasanya nano2, ini pertama kali dalam hidupku, menjadi imam. Biasanya di rumah aku sholat sendiri di kamar, selesai sholat malam, kami melanjutkan sholat pengantin, berdoa untuk kebaikan dalam keluarga kecil kami sekarang dan nantinya.
"Mas.... sebelumnya syafa minta maaf, tanpa mendiskusikan lebih dulu, syafa ngambil tindakan ini. Syafa meminum obat itu mas." Ujarnya setelah kami kembali ke ranjang, dia meremas tangannya gugup.
"Obat apa?" Tanya ku bingung.
"KB." Ucapnya takut.
"Apa?!!" Kepalaku rasanya ingin meledak, dia minum pil sialan itu tanpa mendiskusikan denganku, padahal ini menyangkut keluarga kecil kita. "Kau..." Aku marah, sangat. Dia terisak pelan, ku tarik nafas, mencoba meredakan sedikit amarahku. "Kenapa?" Tanyaku.
"Aku masih 16 tahun, aku sudah berkonsultasi ke dokter kandungan, di umurku yang masih terlalu beresiko kalau hamil, kamatian saat melahirkan di umurku sangat tinggi. Dokter menyarankan menggunakan KB untuk menundanya. Maaf tidak mendiskusikan dengan mas, syafa menginginkan anak, sangat. Tapi kalau nantinya terjadi apa2, syafa tahu dokter bukan tuhan, syafa hanya tak ingin...." ujarnya di tengah tangisnya, ku tarik syafa ke dalam pelukanku. "Maaf."
"Maaf, mas tak berfikir ke situ." Ujarku, mengusap punggungnya pelan, menenangkannya. Dan jangan tanya apa yang terjadi selanjutnya, karena kami sama2 berkeringat walaupun kamar ini di lengkapi dengan AC.
KAMU SEDANG MEMBACA
Suami Pilihan
General FictionKetika takdir berkata lain, di situlah cinta hanya jadi omong kosong baginya. Karena takdir memainkannya hingga ke titik dimana ia kehilangan apa yang dia sebut sebuah harapan.