Lagi suka lagu ini
So enjoy
Author Pov
acara lamaran azzam dengan syafa berjalan lancar, meskipun masih ada perdebatan masalah beberapa hal.
Paginya dengan setelan kerjanya, azzam bertamu di rumah syafa dan tentu saja dengan aisyah yang setengah mengantuk, pagi2 sekali masnya membangunkannya hanya dengan alasan pengen nganter syafa ke sekolah, padahal masnya tau dengan pasti kalau sekolah dengan rumah tunangannya itu sangat amat dekat. Sepanjang jalan dari rumahnya dia hanya berdoa semoga kak syafa menolak di antar.
Irfan hanya mendengus jengkel, melihat tamu yang dateng sepagi ini. Di liriknya jam dinding, jam 6 KURANG.
"Lo dateng kerumah orang jam segini apa gak punya kerjain lain." Azzam cuma meringis, dia terlalu bersemangat sampe tidak melihat jam.
"Gue mau nganterin syafa ke sekolah."
"Gue rasa otak lo harus di perbaiki zam, rumah dengan sekolah itu kurang lebih 10 menit." Cibir irfan.
"10 menit cukup kok." Jawab azzam enteng. Irfan hanya bisa geleng2 kepala. "Cukup buat mandangin dia." Lanjutnya. "Ehh... dia dimana?"
"Dia siapa?? Bunda, papa, fandi ato adek?" Tanya irfan pura2 gak paham.
"Syafa."
"Oohhhh... adek, noh lagi di belakang, maksudku di dapur. Kesana aja."
Azzam melangkahkan kakinya ke arah dapur, tak sulit baginya untuk menemukan letak dapur dimana, karna rumah ini pernah menjadi rumah keduanya, walaupun sangat amat jarang azzam melihat syafa di rumah ini.
Azzam memandangi syafa yang berkutat dengan alat2 dapur 'aku tak akan kelaparab hidup dengannya'. Tanpa azzam sadari syafa sudah memandang kearahnya.
"Ternyata selain tukang pemaksa, anda juga gak punya kerjaan dan pelamun." Azzam mengerjapkan matanya.
Azzam tersenyum simpul "pemaksa itu nama tengahku, aku punya banyak kerjaan termasuk memandangmu, kalau melamun itu... salahkan dirimu yang begitu menakjubkan dengan apron dan alat dapur itu." Mendengar ucapan azzam, sedikit banyak berpengaruh pada kesahatan jantungnya yang berdebar tak karuan.
Azzam pov
"Terus, ada kepentingan apa sampe mas datang pagi buta kayak gini?"
"Ini hampir jam 6 syafa, sudah pagi. Aku ingin mengantarmu." Kulihat dia menghela nafas, apa aku salah? Hei aku hanya pengan mengantarnya kesekolah.
"Dari rumah ke sekolah gak lebih dari 10 menit, kalau mas pengen tau." Jelasnya dengan mengacungkan spatula di depan wajahku. Oh My wajah tampan ku.
"Aku tau, tapi 10 menit juga cukup. Aku mengajak Aisyah bersama kita."
"Terserah, sekarang mas kedepan. Jangan menggangguku, kalau mas masih pengen disini, dengan senang hati aku akan memberikan tugas ku ini ke mas."
"Oke aku tunggu di depan."
Jam berlalu begitu cepat, melihat syafa dengan seragam SMA membuatku sedikit banyak mengelus dada, bagaimana tidak. Calon istriku, ibu dari anak2 ku masih mengenakan seragam putih abu2, aku mengerang frustasi, dia masih kecil, aku fikir sekarang aku bener2 seorang pedophil.
"Lo kenapa zam? Baru sadar kalau lo sebenernya memang seorang pedopil. Dia baru 16 dan sedangkan kita 26 man, jarak 10 tahun itu jumplang banget, adek gue kayak jalan sama om2 girang." Oh god kunyuk satu ini, kalau bukan calon kakak iparku, sudah ku mutilasi dan dagingnya aku kasih makan buaya di kebun binatang.
"Mau memutilasi bang fandi, langkahi dulu mayatku." Ujar syafa, Whaaatttt apa aku mengucapkannya dengan keras.
"Ia dengan amat sangat keras." Jawabnya.
Irfan dan fandi tertawa keras, aku menggaruk rambutku yang tak gatal, di depanku primadona hatiku menatapku berang."Maaf. Aku tak bermaksud begitu.."
"Terus maksudnya apa?" Cercanya.
"Oke aku minta maaf, aku hanya..... ahhh sudahlahh. Kamu gak ngerti syafa." Erangku. Aku gugup tentu saja, dia menatapku lekat. intinya aku seperti abg yang mengalami masa pubertas, yang gugup di depan kekasihnya.
"Buat aku mengerti kalau gitu." Jawabnya enteng.
"Aku akan jelasin, tapi tidak sekarang, oke?" Sedikit membuat kesepakatan dengannya.
"Oke. Kalau begitu aku berangkat sekolah jalan kaki, ayoo aisyahh." Syafa berlalu menarik aisyah bersamanya. Aku menatap irfan dan fandi meminta bantuan, mereka mengangkat bahu, tak peduli.
Aku berbalik mengejarnya "oke aku jelasin." Dia menatapku, menunggu aku menjelaskannya. "Aku baru merasa kalau aku.... seorang pedopil, dengan melihatmu mengenakan seragam itu." Ku tutup mataku, takut melihat reaksi dari gadis kecil di depanku.
Ku dengar Aisyah tertawa, sedikit mengintip dari balik bulu mataku. "Apa itu benar?"tanyanya.
"Iya.... Tapi percayalah, aku bukan pedopil. Aku hanya merasa bersalah, kamu masih sangat belia, tapi perasaanku...." syafa mengangkat tangannya.
"Tidak ada yang salah dengan itu, dulu aisyah juga menikah sangat belia. Kalau mas ragu, lebih baik jangan. Kita hentikan sekarang, sebelum terlambat."
"Aku tau, aku bukannya ragu, hanya merasa bersalah."
"Lebih baik mas anterin kita ke sekolah." Putusnya.
Dalam perjalan ke sekolah, aku memacu mobilku sangat pelan. Aisyah tak berhenti mengherutu di kursi belakang.
"Mas bisa ke rumah kalau mau ngobrol denganku, tidak usah seperti ini."
"Maaf."
"Tak apa."
"Mas tak tau kalau kamu bisa main piano."
"Aku baru menggelutinya kelas 3 SMP, baru 4 tahun sekarang."
"Boleh aku minta sesuatu?" Tanyaku hati2.
"Apa?""Biasanya, kalau orang bisa main piano, kemungkinan besar dia bisa menyanyi." Dia hanya menganguk2an kepalanya. "Di ulang tahun papa nanti, bernyanyilah untuk ku." Aku meliriknya sekilas.
"Oke. Kapan?"
"Ulang tahun papa kapan syah?" Aisyah mendongakkan kepalanya dari hp androidnya.
"Lusa kak. Tapi kata mama besok malem di rayainnya, barengan sama ulang tahun perusahan, kalau gak salah denger sih."
"Oke." Jawabnya enteng.
"Ladies, kita sudah sampai." Aku keluar terlebih dahulu. Membukakan pintu buat syafa.
"Yang sekarang punya tunangan, adeknya gak di bukain pintu."
"Aku masuk dulu mas, tak usah menjemputku. Kita ketemu di ulang tahun papa. Terima kasih." Aku memberikan senyum terbaik ku, setidaknya itu bisa mewakili semuanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Suami Pilihan
General FictionKetika takdir berkata lain, di situlah cinta hanya jadi omong kosong baginya. Karena takdir memainkannya hingga ke titik dimana ia kehilangan apa yang dia sebut sebuah harapan.