Terima kasih banyak atas apresiasi kalian semua, untuk vote sama komenannya. Maaf gak bisa bales, karena dunia nyata menyiksaku, alay *abaikan*
Setelah hari itu aku tak lagi bertemu dengannya, bukan merindukannya, kalau bisa di katakan hanya bersyukur tak berurusan lagi dengannya. Tentang azka dan syifa membuatku ketar ketir, mereka memang tak pernah menanyakan perihal ayah mereka sejak berumur 6 tahun, kalau bukan karna cindy yang tiba2 datang mungkin mereka masih bersemangat ingin bertemu dengan azzam, tapi 3 tahun ini jangankan menanyakannya, menyebut namanya saja haram buat mereka. Karna baginya ayahnya hanya sebagai penyumbang sperma, tidak layak untuk di jadikan panutan. Kedatangan cindy tiba2, mengungkit2 masalah perceraian kami, cincin dan segala macam, membuat azka dan syifa tak mengagumi ayahnya seperti sebelumnya. Cindy memang tak tahu keberadaan azka dan syifa, tapi bukan berarti masalah akan berhenti di penyerahan cincin keluarga azzam, akan ada hasutan2 lain, yang paling aku takutkan penolakan azzam pada azka dan syifa dan yang pasti akan berujung pada test DNA, itu akan menyakiti mereka.
"Melamun lagi hmmm." Entah sejak kapan bang irfan berdiri di sebelahku.
Aku menarik nafas berat. "Adek gak melamun bang." Elakku.
"Abang manggil adek sepuluh kali gak ada jawaban, kalau bukan melamun apa namanya."
"Berfikir, mungkin." Jawabku enteng.
"Alasan basi." Bang irfan mencibir.
"Abang ada apa manggil adek?" Tanyaku langsung.
"Gak ada apa2, cuma kangen ngobrol bareng. 10 tahun... " bang irfan berhenti. Aku memandang bang irfan seksama, ada guratan kesedihan disana. Aku menyenderkan kepalaku di lengan kokoh milik bang irfan.
"Jangan pernah merasa bersalah, adek baik2 saja, tanyakan sama alvin, dia yang menjaga adek. Adek pergi bukan karena bercerai dari mas azzam, perceraian adek mungkin menjadi alasan kesekian dari sekian banyak alasan. Abang tau, adek selalu melihat abah menangis sendirian setiap malam setelah mas azzam mentalak syafa, adek merasa bersalah akan itu. 17 tahun umur adek waktu itu, yang seharusnya masih bergaul dengan teman2nya bukan berstatus janda. Adek gak menyalahkan siapapun, termasuk azzam, kalaupun ada yang harus disalahkan itu berarti adek. Adek pergi untuk memperbaiki kesalahan adek, memperbaiki diri adek. Maaf membuat abang kepikiran." Bang irfan langsung memelukku.
"Maafin abang, abang gak bisa ngelindungi adek."
"Its oke. Semuanya sudah berlalu, adek sudah seperti adek yang dulu. Sekarang cerita tentang abang, vita?" Bang irfan langsung terkikik geli.
"Adek nanya lho ini bang." Protesku karena tak mendapat jawaban dari bang irfan.
"Bukannya adek lebih mengenalnya daripada abang, ngomongin dia abang jadi kangen nihhh. Dekkkk telfoninn dong."
"Gak... kalian dalam masa pingitan, di tahan kangennya, 2 hari lagi sah. Oh iya ini adek ada hadiah." Aku masuk kedalam kamar dan mengambil map coklat yang sudah aku siapkan buat kedua abangku.
"Nihhhh... pergilah, adek sudah handle semuanya." Abang membelalakkan matanya, setelah melihat isinya.
"7 negara? Really? Tapi dek, sayang duitnya. Lebih baik buat bangun rumah." Yang awalnya antusias beberapa detik kemudian lesu.
"Abang gak bakalan kemana2, jangan buat rumah, tinggalah disini nemenin abah sama bunda." Bang irfan telihat ingin protes.
"Adek sudah ada rumah, deket sini, gak nyampe lima menit kalau jalan kaki. Abang tau pembangunan rumah yang setengah jadi 5 rumah setelah rumah kita?" Bang irfan mengangguk.
"Rumahnya yang besar itu?"
"Alay dehh, gak besar kok."
"Jangan bilang itu rumah adek?" Tanya bang irfan, melihat aku yang mengangguk sukses membuat bang irfan menganga, persis ikan kehabisan aer.
KAMU SEDANG MEMBACA
Suami Pilihan
General FictionKetika takdir berkata lain, di situlah cinta hanya jadi omong kosong baginya. Karena takdir memainkannya hingga ke titik dimana ia kehilangan apa yang dia sebut sebuah harapan.