part 10

11.2K 466 1
                                    

Azzam Pov

Pengalaman setiap orang di hari pertama menjadi seorang suami berbeda, termasuk juga aku. Di hari pertama, ralat sejam setelah menjadi seorang suami aku harus mengalami hal buruk, masa depanku, aset berhargaku yang ku jaga 26 tahun, mendapat tendangan maut dari istriku sendiri, apa dia tak tau kalau apa yang dia lakukan bisa membuatku impoten tiba2. Aku tak bisa menyembunyikan rasa ngilu, sakit di area itu ku, tendangannya ngalah2in Ronaldo. Aku tahu dia tak sengaja, kaget karna tiba2 fandi membuka pintu di saat posisi kita sangat intim sekali, hampir saja aku menciumnya tepat di bibirnya.

"Mas... yakin bisa jalan?" What...!!!! Ini memang sakit, tapi kakiku masih berfungsi dengan sangat amat baik sekali. Aku menganggukkan kepala tak berniat menyahutinya.

"Mas... marah?" Tanyanya lagi, ku gelengkan kepalaku. " Resepsinya di batalin ya mas. Mas kan sakit, tak mungkin kan buat berdiri di pelaminan berjam2." Apa katanya, membatalkan. Uurrrggghhhh..... istriku satu ini, ku acak rambutku untuk yang kesekian kalinya.

"Syafa.... dengerin mas, ini memang masih sakit, tapi gak masalah buat mas." Aku memegang kedua lengannya. Dia mengangguk. Kalau seperti ini dia sangat lucu.

Sesampainya di hotel tadi sore, membuatku mencak2 gak karuan, kamarku dengan syafa beda. Katanya gak boleh sekamar dulu, hei peraturan darimana itu, kami sudah resmi, halal. Dan yang lebih menyebalkan dari pisah kamar ini, aku harus sekamar dengan kedua sahabatku alias kakak ipar.

"Nyantai bro, ini cuma beberapa saat, ntaran juga ketemu sama syafa. Tahan dikit, gue tau lo kebelet banget pengen ngetes si otong, masih mampu atau impoten gara2 tadi." Ohhh shit, dia meledek ku masalah tadi. Itu gara2 syafa keceplosan, coba aja dia bisa ngerem sedikit, pasti aku bisa sedikit tenang sekarang.

"Diam." Sahutku.

"Gimana si otong, masih sakit?"tanya mereka lagi. Aku menggeleng, malas menanggapi kedua kakak adik ini, di tanggapin tar tambah panjang. Ku pejam kan mataku, istirahat sebentar.

"Zam.. lo tidur?" Tanya irfan.

"Kayaknya tidur deh bang. Udah biarin aja, pasti capek." Sahut fandi.

Aku masih memejamkan mata, sampai akhirnya aku masih terbang ke alam mimpi.

Tertidur sampai menjelang magrib, membuatku sedikit pusing. Aku mengerang menyesuaikan sinar lampu.

"Lo harus bangun bro, sebentar lagi magrib dan lo harus siap2 buat resepsi tar." Aku mengangguk, dengan langkah sempoyongan aku masuk ke kamar mandi. Berendam air hangat 10 menit membuatku kembali segar, pegal2 di berbagai tempat sudah tidak terasa lagi. Keluar kamar mandi wajahku sudah kembali fresh, siap untuk malam yang panjang.

"Lo jangan lupa makan, acaranya masih panjang. Tadi gue ke kamar adik, dia baru selesai makan." Ujar irfan.

"Kamar syafa dimana?" Tanyaku antusias.

"Tar juga tau sendiri. Udah deh makan dulu." Irfan menyodorkan nasi kotak. Bener apa yang irfan bilang, acaranya masih panjang, apalagi tar malem, akan menjadi malam yang panjang. Aku tersenyum memikirkan tar malem.

"Wajah mesum lo, ck!!! Pelan2, syafa masih kecil buat hubungan suami istri." Aku mengangkat alisku.

"Cepet habiskan makannya, jangan makan sambil mikir jorok. Habis itu sholat, acaranya satu jam lagi. Jadi gak ada waktu buat santai2." Tegur fandi. Sahabatku yang satu ini bener2, aku baru makan dua suapan dia sudah memintaku untuk cepet2, yang bener aja.

" iya2, bawel banget lo"

Setelah lengkap dengan setelan jas ku, aku duduk di sofa dengan irfan dan fandi yang sudah lengkap dengan setelan mereka. "Bagaimana perasaan kalian, maksud gue, syafa adek kesayangan kalian, seberapa yakin kalian sampe akhirnya menyerahkan adek kalian ke gue." Ini memang sudah mengganggu pikiranku selama ini, mereka tau sepak terjang hidup ku selama ini, sering gonta ganti pacar, walaupun hanya sampe tahap ciuman gak lebih.

"Gue tau lo, gue tau lo gak bakal mengambil keputusan sembarangan, berkomitmen dengan menikahi adek gue di umur 26 tahun hal yang jarang pria dewasa lakukan, biasanya seorang pria akan menikah di umur 30 something." Aku mengiyakan apa yang di katakan irfan, sepak terjang hidupku gak bersih, menikah di umur 26 tahun gak pernah tercatat dari sekian rencana hidupku kedepannya.

"Lo nyakitin syafa, lo mati." Ucap fandi telak. Fandi bukan seperti irfan meskipun mereka kembar, walaupun kejeniusan mereka sama rata. Memikirkan kejeniusan mereka, apa anak yang akan di lahirkan syafa bakal seperti keluarga papa anggara? Memikirkan anak membuat perasaan mengambang.

Kami berdiam diri, tenggelam dengan pikiran kami sendiri. Kami sama2 menoleh, ketika pintu kamar kami di ketuk.

Irfan beranjak membukakan pintu. " Acaranya segera di mulai mas, mempelai pria di harapkan untuk segera turun."

"Baik, terima kasih."

"Iya mas. Saya permisi dulu." Irfan menganggukkan kepala.

"Kita kebawa sekarang." Kata irfan setelah menutup pintu.

Melewati lorong demi lorong dan naik lift untuk turun ke ballroom. Di pintu masuk, aku tak menemukan syafa disana, masak aku sendirian masuk ke ballrom, yang benar saja. Sampai pintu terbuka pun aku sendirian, berjalan di atas karpet merah sendirian tanpa mempelai wanitanya, rasanya seperti anak ayam yang salah masuk kandang. Ini gak seperti yang kita rencanain, seharusnya syafa masuk bersamaku tadi. Di pelaminan pun aku sendirian, ini benar2 gak bisa di birain. Ku panggil salah satu panitia terdekat.

"Istriku kemana?" Tanyaku langsung, persetan dengan basa basi.

"Maaf pak, ada sedikit gangguan, ibu syafa masih kami tahan di kamar karena pihak hotel bilang, kalau sebentar lagi lampu akan padam dalam beberapa detik, seperti uji coba. Kami akan segera memberitahu tamu yang lain. Permisi." Jelasnya panjang lebar. Di hari penting gini, gerutuku. Tiba2 lampu mati, ku hitung dalam hati, membuktikan kebenaran ucapan panitia tadi. Di hitungan ke lima belas, lampu menyala. Bukan menyala, tapi lampu menyorot panggung live musik. Aku terbelalak sorotan lampu, syafa. Dia disana, di depan grand piano hitam dengan bunga yang di taruh di atas piano. Dentingan pertama, lagu ini.

You're the light, you're the night
You're the colour of my blood
You're the cure, you're the pain
You're the only thing I wanna touch
Never knew that it could mean so much, so much

You're the fear, I don't care
'Cause I've never been so high
Follow me to the dark
Let me take you past our satellites
You can see the world you brought to life, to life

So love me like you do, la-la-love me like you do
Love me like you do, la-la-love me like you do
Touch me like you do, ta-ta-touch me like you do
What are you waiting for?

Fading in, fading out
On the edge of paradise
Every inch of your skin is a holy grail I've got to find
Only you can set my heart on fire, on fire
Yeah, I'll let you set the pace
'Cause I'm not thinking straight
My head's spinning around I can't see clear no more
What are you waiting for?

Love me like you do, la-la-love me like you do
Love me like you do, la-la-love me like you do
Touch me like you do, ta-ta-touch me like you do
What are you waiting for?

I'll let you set the pace
'Cause I'm not thinking straight
My head's spinning around I can't see clear no more
What are you waiting for?

Love me like you do, la-la-love me like you do (like you do)
Love me like you do, la-la-love me like you do (yeah)
Touch me like you do, ta-ta-touch me like you do
What are you waiting for?

Tanpa sadar sejak kapan ku langkahkan kakiku menyusuri ballroom, menghampiri syafa, berdiri di sampingnya, mendapat senyum hangatnya, binar matanya di setiap dentingan piano, dia sangat menikmati permainannya, sekarang aku tau dia mencintai musik, sangat.

Suami Pilihan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang