Kalau kalian pikir saat ini aku di hotel, salah besar, karena kedua abangku itu benar2 pemaksa ulung, nyampe di rumah pun rumah sudah sepi, lampu sebagian sudah mati, abah dan bunda tentu saja sudah tidur.
Aku masih memandang langit2 kamarku, tak ada yang berubah, semua barang masih di tempatnya persis 10 tahun yang lalu, bunda benar2 merawat kamar ini dengan baik.
Aku beranjak dari tempat tidurku, segelas coklat hangat mungkin akan membuatku mengatuk. Berlari kecil ke arah dapur, dan melihat punggung ringkih milik abah. Aku berjalan pelan, sampai di belakangnya memeluknya erat, aku menjatuhkan kepalaku di pundaknya.
Abah menegang sebelum akhirnya aku menahannya untuk menghadap ke arahku. "Abah terlihat ringkih dari seharusnya, maafin syafa baru pulang. Banyak hal yang terjadi sampai harus 10 tahun syafa pulangnya. Syafa pengen nangis tapi abah gak bakal seneng."
"Yang penting adek pulang, gak masalah seberapa lama pulangnya. Jadi biarin abah melihat wajah anak abah ini." Kali ini aku tak menahan abah berbalik arah. "Anak abah tambah cantik, lebih berisi sekarang, terlihat sangat bahagia." Aku terkikik geli, abah orang yang sangat terluka dulu saat aku bercerai dari azzam, dan menjadi orang yang sangat bahagia melihatku bahagia.
"Syafa sudah berjanji dulu sebelum pergi, akan pulang menjadi syafa anak abah yang dulu." Aku memeluknya erat, lega rasanya. "Syafa boleh nangis gak bah?" Tanyaku, lucu memang menangis harus minta izin. "Syafa bahagia bisa pulang, bisa ketemu abah lagi, pacar syafa."
"Sekali pergi nyampe 10 tahun, gak pulang tapi nyuruh temen kamu yang cerewetnya ngalah2in banci di perempatan depan kompleks." Bukannya menangis aku malah tertawa, vita memang bisa di handalkan, kecerewetannya memang terkadang sangat bermanfaat.
"Adek akan sering pergi nantinya, ngurusin kerjaan. Tapi kali ini abah menghadapi orang yang lebih cerewet dari vita dan lebih ngeselin dari bang fandi." Abah memutar matanya, beliau berfikir akan ada vita dikalikan 2. Aku tertawa makin keras. "Besok pagi syafa kenalin, sekarang masih tidur anaknya. Abah juga tidur yang nyenyak, jangan mikirin apapun, syafa sudah disini." Aku mencium pipi abah dan mendorongnya keluar dari dapur.
Ke esokan paginya dengan baju sudah rapi untuk rapat yang alvin limpahkan padaku, rapat di perusahaan azzam. Azka dan syifa jangan di tanya, mereka masih tidur nyenyak, masih jam setengah 6, cukup untuk membuat sarapan. Aku mengeluarkan beberapa bahan makanan yang bisa di buat dengan singkat, nasi goreng spesial pake sosis.
"Dekkkk....." teriakan melengking dari lantai atas, kalau gak bang irfan berarti bang fandi.
"Dapurrrr...." teriakkanku gak kalah melengking, 'apa keluarga ini berubah jadi keluarga tarzan sekarang?' Aku bergedik ngeri.
"Oh my god... I think it dreaming."ujar bang irfan Dengan nafas sedikit ngosngosan.
"What?" Tanyaku melihat kedua abangku yang gak banget, wajah2 bantal ditambah keringet yang gak banget.
"Kalian mengotori udara disini, mandi!" Bukannya berbalik arah, mereka malah berlari memelukku. Iuhhh mereka benar2 jorok.
"Abanggggggg..... " pekikku. Mereka hanya terkikik. Mereka pikir ini lucu, bajuku kusut lagi gara2 mereka.
"Abang pikir, abang bermimpi semalam."
Aku melepaskan pelukan mereka secara paksa. "Di bagian mananya yang mimpi semalam? Menyeret adek maksa buat pulang atau apa?" Tanyaku jengkel, mereka masih bau orang bangun tidur. Mereka dengan rasa gak bersalah malah tertawa.
"Ada apa ini? Pagi2 sudah rame, rumah bukan pasar." Amukan dari kamar tidurnya. "Adek?" Tanya bunda kemudian. Here we go the queen. " ya Allah anak bunda... anak bunda pulang, anak kesayangan bunda, anak perempuan bunda." Dan masih kalimat2 yang gak banget menurutku, tapi karena ini bunda, beda lagi rasana, pelukan bunda semakin erat, tangisannya pecah. Bukan tak ingin menangis, tapi disini sudah ada abah. Gak akan ada air mata.
KAMU SEDANG MEMBACA
Suami Pilihan
General FictionKetika takdir berkata lain, di situlah cinta hanya jadi omong kosong baginya. Karena takdir memainkannya hingga ke titik dimana ia kehilangan apa yang dia sebut sebuah harapan.