Part 16

10.1K 467 8
                                    

Thanks banget buat vote nyaaa

Selanjutnya akan terus syafa POV ya

So enjoy the story. ^.^

Sehari sebelum sidang perceraian kami, aku mengajaknya ketemuan, bukan untuk membuatnya kembali menerimaku tapi alasan di balik ini yang selalu menggerogotiku setiap hari, menebak2 tak lantas membuatku tenang.

Aku sengaja sedikit telat dari perjanjian awal, bukan telat. Aku hanya ingin tau sampai dimana kesabarannya, memperhatikan dia dari sudut lain restoran ini. Setengah jam kemudian, aku berdiri di hadapannya.

"Maaf telat, jalanan agak ramai." Ujarku sekedar basa basi.

Dia tak menyahuti, berharap dia sekedar menjawab untuk menghormati, mungkin?.

Kami terdiam cukup lama, sampai pesanan yang kami pesan tinggal setengah. Cukup menikmati kebisuan kami, bergelut dengan pikiran masing, entah apa yang di pikirkan pria di depanku ini, tak ada emosi apapun yang tampak dari wajahnya. Sekedar berharap banyak kalau dia juga terluka dengan perpisahan ini, terluka? Harapan koyol.

"Berdiam seperti ini, seperti tidak akan ada sidang perceraian besok, terlihat baik2 saja." Ujarku memulai, sekedar bosan dengan sikap bisunya. "Pengacaraku sudah mengurusnya, sekali sidang kita sudah resmi bercerai. Dan untuk itu, aku hanya ingin tau alasan sebenarnya? Sedikit bocoran alasan di balik perceraian ini tak akan mengubah hasil sidang besok. Jadi?" Tanyaku, Aku menggantung kalimatku, ku harap dia mengatakannya.

"Tidak ada alasan lain, aku tak lagi mencintaimu." Jawabnya dingin.

"Mas menikahiku secara baik2, meminangku pada kedua orangtuaku juga karna alasan hormon menjijikan yang mas sebut cinta? Lalu sekarang, hanya karna hormon sialan itu tak lagi ada mas menceraikanku layaknya hidangan yang bosan lalu mas buang? Ck... lahir dari keluarga terhormat, paham agama, tidak bisa membuatmu terdidik begitu baik. Ohhhh... apa ini karna masalah anak? Pewaris perusahan itu? Aku rasa itu, apa aku mandul??" Pertanyaan terakhir sedikit membuatku tercekat, mandul?? Aku tak pernah terpikir ke arah itu.

Dan dia bahkan tak menanggapi omonganku, hanya menatapku tajam. "Sebagai seorang CEO, aku rasa mas tak pantas menempati posisi itu, dimana letak kebijakan mas? Second opinion? Apa mas tak berfikir kearah itu, dokter kandungan bukan hanya dokter itu."

"yang kamu panggil itu punya nama syafa." Ohh dia mulai emosi, hanya karna memanggil nama sahabatnya dokter itu.

"Aku tak mengingatnya, aku sudah tau sekarang. Jadi terima kasih banyak, untuk kali ini biarkan aku yang membayar. Oh iya semua kartu kredit dan debit yang berikan padaku dulu, aku simpan di laci nakas, aku belum pernah menyentuhnya sedikitpun, bahkan seratus rupiah. Selama setahun lebih, aku menggunakan uang simpananku sendiri, sekedar informasi." Aku meninggalkannya, membayar minuman kami tadi dan menyetop taksi di depab kafe. Tidak, aku tak menoleh, pantang buatku. Tak ada tangis kali ini, menangisinya mungkin hal terakhir yang akan aku lakukan, cukup sehari setelah dia menjatuhkan talak.

Aku mengalihkan mataku memandang ke arah jalan yang padat, aku akan merindukan ini. Merindukan setiap sudut kota ini, merindukan orang2 yang menyayangiku, merindukan udara yang akan ku hirup setiap hari, dan merindukan setiap detik dari kebersamaan kami. Ku hapus air mata yang menetes, bukan airmata untuk dia tapi setelah ini, setelah ketuk palu besok.

Haki baru saja mengetuk palunya, kami resmi bercerai, kami memang datang ke sidang ini, termasuk keluarga kami. Hanya alhamdulillah yang ku ucapkan berulang kali. Ku balikkan badanku, berlari ke arah abah, menghiraukannya dan keluarga besarnya. Tak ada mediasi, entah apa yang om pras lakukan, tapi ini cukup membantu.

"Bisakah kita pergi dari sini?" Tanyaku, memandang satu persatu keluargaku, mereka hanya mengangguk. Ini berat di umur 17 tahun, aku menyandang status janda. Kami beriringan keluar dari ruang sidang, menghiraukan panggilan dari keluarga mas azzam. Setibanya di depan, bang irfan sudah standby dengan mobilnya.

Tak ada pembicaraan berarti selama perjalanan kami pulang kerumah, sibuk dengan pikiran kami masing.

"Ada yang ingin syafa katakan, apa bisa syafa minta sedikit waktu kalian di rumah setelah kita sampai?" Mereka mengangguk. Bunda menggenggam tanganku erat, mengusap pelan lenganku, aku tersenyum ke arah bunda.

"Abah, bunda, bang irfan dan bang fandi. Syafa tau kalian mencintai syafa, sangat. Syafa tak meminta pendapat lagi, syafa hanya minta restu kalian." Bang irfan terlihat ingin protes tapi aku mengangkat tanganku, aku belum selesai. "Syafa akan melanjutkan sekolah." Ku lihat wajah mereka berseri, mungkin mereka berfikir perceraianku tak berarti apa2. "Tapi bukan disini, di luar negeri. Syafa sudah melamar ke beberapa universitas, dan beberapa dari mereka menerima." Aku berhenti, sekedar mengambil nafas. "Syafa sudah memutuskan untuk mengambil salah satunya."

"Melarikan diri dek?" Tanya bang irfan langsung, sedikit tertohok.

"Abang menegenal syafa sejak syafa lahir, tidak. Melarikan diri bukan dari sifat adek, labih tepatnya menenangkan diri. Syafa hanya melanjutkan kuliah bukan lari, setidaknya kesibukan di kampus bisa mengembalikan syafa seperti sedia kala. Syafa akan rajin mengirimkan kabar, tapi tidak untuk pulang atau kalian berkunjung kesana."

"Adek." Itu suara abah. "Abah tak melarang adek untuk melanjutkan kuliah, tapi ke luar negeri? Abah rasa bukan ide yang bagus."

"Abah.... untuk kesekian kalinya syafa minta maaf, syafa akan tetap keputusan syafa. Dengan atau tanpa persetujuan kalian, syafa akan berangkat besok." Ujarku final.

"Syafa. Apa karena perceraian ini sampe adek tidak punya tatakrama lagi." Teriak bang fandi, singa satu ini mulai bangun

"Kali ini bang, kali ini. Biarkan syafa menentukan apa yang syafa anggap benar. Hanya kali ini, syafa akan kembali. Syafa janji, sekembalinya syafa nanti, syafa tak akan pergi, abah, bang irfan, banh fandi dan bunda bisa pegang janji syafa."

"Adek." Suara bang fandi melembut.

"Kali ini bang, hanya kali ini. Apa syafa harus berlutut memohon pada kalian agar kalian mengijinkannya."

"Biarkan kami mengantarmu besok." Kata bang irfan akhirnya, aku menggelengkan kepala.

"Take it or leave it." Abah ikut2an bang irfan, yang lain setuju dengan bang irfan dan abah.

"Hanya sampai parkiran, tidak ada yang boleh masuk kedalem. Deal?"

Abah, bunda dan abang2ku tersayang tak berkutik dengan keputusanku. Pergi, bukan lari tapi mengembalikan sesuatu pad tempatnya, aku dengan status baruku dan mencoba membiasakan dengan itu.

Tak banyak yang aku bawa, cuma beberapa setelan cukup buat seminggu dan tas ransel berisi barang2 berharga dan uang tunai asing. Tujuanku memang singapura, tak jauh, setidaknya kalau ada apa2 gak terlalu jauh buat pulang.

********

Aku mengambil penerbangan kedua, setidaknya sedikit lebih lama bareng keluarga.

"Bunda jaga kesehatan, jangan banyak pikiran, anal bunda ini bukan minggat tapi sekolah." aku memeluk bunda, seharusnya bunda yang memberikan wejangan tapi ini kebalik.

"Adek juga, sering2 ngabarin bunda yah." Ujar bunda di sela2 tangisnya.

Aku beralih ke kedua abang kembarku. "Cepet carikan bunda menantu, kalian sudah cukup umur buat menikah. Jangan pernikahan syafa yang jadi acuan." Kedua abangku meringis, kalau sudah membahas soal pernikahan. "Ahh... syafa bakalan kangen kalian berdua." Aku memeluk keduanya sekaligus, lebih tepatnya mereka berdua yang memelukku, postur badan mereka yang besar sangat sulit buatku memeluk keduanya.

"Abah gak boleh nangis diem2 lagi, syafa sudah ikhlas, ini pelajaran hidup. Jadi abah ku yang tampan, doakan anakmu ini selalu ya." Abah menghapus sudut matanya yang berair.

"Syafa jaga diri baik2, jaga kesehatan, cepet pulang." Aku mengangguk dalam pelukan abah, dekapan yang selalu membuatku merasa aman.

"syafa berangkat dulu, assalamu'alaikum." Aku melambaikan tangan ke mereka, lindungi orang2 terkasihku Tuhan, ku titipkan mereka padaMu. Doaku dalam hati.

Suami Pilihan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang