Author POV
Tak ada gading yang tak retak, tak ada hubungan yang berjalan mulus bak jalan tol, bukankah suatu hubungan akan mengalami naik turun, hukum alam selalu berlaku pada setiap orang. Begitu juga dengan hubungan syafa dan azzam, sehari dua hari masih hangat2 tai ayam hubungan mereka berjalan lancar, menginjak bulan bukan hal lumrah lagi kalau hangat tai ayam tadi menjadi kering. (Author mulai ngelantur).
"Sayang..." Azzam memanggil syafa sayang setelah menikah, cuma syafa yang masih memanggilnya mas, walau dia sudah meminta syafa untuk mengganti dengan berbagai alasan tapi syafa masih kekeh memanggilnya mas.
"Di dapur mas." Tuh kan masih mas, padahal dia berharap syafa lupa memanggilnya mas, atau paling tidak lidahnya terpeleset.
"Hari ini masak apa?" Azzam memeluk syafa, menghirup aroma mawar istrinya dalam. Ia kangen dengan aroma istrinya.
"Kalau seperti ini terus syafa gak bisa nerusin masaknya." Syafa berbalik menghadap suaminya. Wajah lelah azzam terlihat jelas, pekerjaannya sebagai CEO di perusahaan papanya, menyita banyak tenaga dan pikirannya.
"Kangen.... yang..." azzam tambah memeluk erat istrinya.
"Mas cepet mandi gih, sebentar lagi lauknya matang." Syafa mendorong suaminya menjauh. Azzam mencebikkan bibirnya.
"Oke, ada yang mas ingin bicarakan." Ujar azzam sebelum beranjak ke kamar mereka. Syafa menganggukkan kepalanya.
Syafa masuk ke kamarnya dengan azzam, menyiapkan baju ganti untuk suaminya itu, makanan sudah ia tata dengan rapi di meja makan. Azzam terlihat lebih segar setelah mandi, rambutnya yang basah, membuatnya terlihat sangat.... yummy di mata syafa. ' hei... berhentilah berfikiran mesum syafa,'. Syafa menggeleng2kan kepalanya mengusir pikiran mesumnya terhadap azzam yang memang selalu terlihat lezat, ' oh god dia benar2 harus pergi dari sini, sebelum air liurnya menetes dan mempermalukan dirimu sendiri di depan suami mu syafa...' Batin syafa.
"mas tau kalau mas ganteng banget, tapi gak harus sampe netes gitu liurnya." Syafa buru2 mengelap bibirnya, mendengar azzam yang terbahak memegang perutnya, dia sadar di kerjai suaminya. Syafa menghentak2kan kakinya keluar dari kamarnya, azzam yang tau kalau istrinya ngambek langsung menyusulnya. "Maaf yah... mas cuma bercanda tadi." Azzam memelas, tapi karna syafa sudah terlanjur sakit hati mendiamkan suaminya.
Menghiraukan suaminya yang merengek dari tadi, syafa menyendokkan nasi, sayur dan lauk kesukaan azzam, tanpa mengatakan sepatah katapun ia menyerahkan piring buat azzam.
Azzam merasa serba salah, maksud hati bercanda tapi istrinya satu ini malah ngambek dan menghiraukannya. Menggoda syafa memang menyenangkan, tapi baru kali ini syafa ngambeknya lama banget.
Membereskan piring2 kotor dan mencucinya dengan diam, biasanya dia akan ngobrol panjang lebar dengan azzam. Tapi karna dongkol, dia memilih diam, biar tau rasa suaminya itu. Azzam sangat suka sekali menggodanya setiap waktu, tapi karna sudah gondok setengah mati dia mendiamkan azzam lebih lama dari biasanya. Melihat azzam yang merasa bersalah, syafa mengulum senyumnya, ngerjain suaminya sedikit kan gak dosa.
Tak tahan dengan wajah asem suaminya tak ayal membuat syafa tertatawa keras, sampai sampai air matanya keluar.
"Kau mengerjai mas." Azzam mengambil ancang2 untuk mengejar istrinya. "Rasakan ini.!!!" Azzam mengelitiki pinggang syafa.
"Ampun mas.... geliii..... mas ampun.." syafa yang tak tahan di gelitiki meminta ampun ke suaminya.
Mereka menetralkan deru nafasnya, terbaring di karpet ruang keluarga. Azzam menyangga kepalanya dengan tangan. " ada yang ingin mas bicarakan, ini serius." Ujar azzam setelah bisa menetralkan deru nafanya.
"Mas mau ngomong apa? Syafa mendengarkan." Syafa membalikkan badannya menghadap suaminya.
"Ini tentang anak." Azzam memperhatikan raut wajah syafa, tak ada perubahan yang berarti sama seperti tadi, tak ada expresi terkejut atau apapun itu. "Apa tidak sebaiknya kita mulai memprogramkannya." Lanjut azzam pelan, ia takut istrinya akan menolak keinginannya untuk segera memiliki anak. Tapi setelah mendengar jawaban dari syafa, mau tak mau azzam sendiri yang terkejut.
"Syafa sudah lama gak minum obat itu, sekitar 3 ato 4 bulanan kalau gak salah." Jawab syafa enteng.
"Tapi kenapa kamu belum hamil?" Tanya azzam kaget, hei dia keturunan orang yang bisa memproduksi anak yang sangat banyak dan otomatis spermanya tak bisa di ragukan lagi.
"Mas jarang menyentuhku di masa subur syafa, jadi ya syafa santai2 aja. Syafa pikir mas udah lupa." Jawab syafa. "Kita bisa kedokter buat program kalau memang mas sudah kebelet banget jadi seorang ayah." Lanjut syafa sambil memainkan baju kaos azzam.
"Kita kedokter besok ya, kebetulan sahabat mas dari kecil juga seorang dokter kandungan, tenang cewek kok. Anaknya baru dateng 2 minggu lalu. Sekalian mas kenalin sama dia." Ujar azzam antusias.
Syafa POV
Ke esokan harinya sepulang dari dokter sekaligus sahabatnya dari kanak2 mas azzam mendiamkanku, aku sendiri bingung apa yang mereka bicarakan karena dokter cindy hanya ingin berbicara berdua dengan mas azzam, memang cuma aku disini yang di periksa dengan alat entah apapun itu namanya aku juga tak tau karena alat itu beliau masukkan lewat kemaluan.
Sampai makan malampun mas azzam mendiamkanku, sepulang dari dokter mas azzam tak keluar dari ruang kerjanya.
"Mas."
"Makan syafa." Jawabnya ketus. kita memang sedang makan tapi kita tak pernah berdiam seperti ini walaupun sedang makan, obrolan kecil tentang hal2 sepele selalu menjadi bahan obrolan kami.
Selesai makan, mas azzam kembali masuk kedalam ruang kerjanya. Setelah membereskan bekas makan kita tadi, aku menyusulnya dengan membawa kopi dan cemilan.
Aku Mengetuk pintu ruang kerjanya, setelah mendengar sahutan mas azzam, aku melangkah masuk. "Mas, syafa bawakan kopi dan cemilan." Tetap fokus pada laptopnya, mas azzam tak menyahuti.
"Mas ngerjain apa sih?"tanyaku mencoba memecah keheningan. Dan mas azzam tak menyahut lagi. "Aku tidur duluan mas."
Keesokan paginya sebelum subuh, aku tak menemukan mas azzam di sampingku, ranjang yang biasanya di tiduri mas azzam, dingin. Petanda semalam mas azzam gak balik ke kamar. Ku langkahkan kakiku ke ruang kerja mas azzam, ku lihat dia tertidur di sofa panjang yang tak muat buat badannya, apakah pekerjaannya banyak sehingga dia harus lembur dan tak tidur di kamar.
Aku menggoyangkan lengannya " Mas... bangun, hampir subuh."
"Mas." Mas azzam menggeliat, merasa tidurnya terganggu.
"Mas, bangun. Subuhan dulu." Mas azzam membuka matanya, melihat tanganku yang memegang lengannya. Mas azzam menepis tanganku kasar, agak sedikit sakita, tapi sakit di pergelangan tanganku tak sesakit apa yang hati aku rasakan. Ini pertama kali dia kasar dan pertama kalinya dia menatapku seperti itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Suami Pilihan
General FictionKetika takdir berkata lain, di situlah cinta hanya jadi omong kosong baginya. Karena takdir memainkannya hingga ke titik dimana ia kehilangan apa yang dia sebut sebuah harapan.