part 21

13K 580 53
                                    

Hai hai..... aku kembali, maafkan daku ya ders yang menghilang sebulan ini, banyak hal terjadi (curhat). Untuk mengobati rasa penasaran kalian, part ini akan lebih panjang dari yang lain, soooo enjoooyyyyy....

tapi sebelum itu untuk semua pembacaku yang tersayang saya sekaluarga mengucapkan eid mubarak mohon maaf lahir dan batin.

Dan terima kasih banyak atas vote dan komennya, aku gak nyangka dapet sekian banyak dari kalian semua( kecup satu2). Sekali lagi terima kasihhh...

Sehari sebelum keberangkatan ke Indonesia azka dan syifa makin heboh, nanya ini itu, salahku juga sih yang tak pernah membawa mereka kesana, cerita vita tak membuat mereka berpuas diri untuk tidak menanyakan hal yang sama lagi.

Pagi tadi keberangkatan alvin ke indonesia, dengan berbagai rayuan memintaku mengantarkannya ke bandara, dengan berbagai alasan juga aku menolaknya. Jadi jangan di tanya gimana wajahnya, di tekuk delapan itupun kalau mungkin. Mengingat kekoyolan perjaka tua satu itu selalu membuatku tersenyum.

"Bunda." Aku menoleh ke asal suara, azka dengan gaya coolnya, dan itu mengingatkanku padanya, azzam.

"Hhhmmmm"

"Kita bisa membatalkannya kalau memang bunda belum siap untuk pulang." Ucapannya reflek membuatku menoleh. Aku menggeleng, ini bahkan sudah terlalu lama untuk membatalkannya lagi. Yang aku takutkan tanggapan abah, kedua abangku dan bunda.

"Bunda yakin?" Tanyanya.

"Ini sudah lama bunda gak pulang, menghilang tanpa kabar, bunda hanya merasa takut dengan tanggapan oma opa kalian saat melihat bunda." Aku menghela nafas berat, berat memang 10 tahun menghilang tanpa kabar, apa yang akan mereka pikirkan selain 'kalau aku sudah mati'.

"azka sangat yakin beliau orang sangat baik, mereka akan memaklumi kealpaan bunda gak memberi kabar. Gak ada kata terlambat pulang untuk apa yang kita sebut rumah. Azka dan syifa sudah siap apapun yang terjadi, termasuk tanggapan dari pria itu." Aku melihat kedalam matanya, kesungguhan yang aku dapatkan. Aku sangat bangga, di umur 9 tahun mereka bahkan lebih dewasa dari aku, orang tuanya. "Azka hanya butuh bunda di samping kami nantinya, karena bunda kekuatan kami, jadi berhentilah berfikir yang tidak2. Sekarang telfonlah om fandi atau om irfan." Azka meletakkan smartphone di atas meja, haruskah. Karna aku hanya memandangi benda pipih itu, azka meletakan di tanganku.

Syifa yang baru bergabung menganggukkan kepala, baiklah. Aku menguatkan tekatku, ku tekan no hp bang irfan. Ku dengar bunyi sambungan.

"Hallo.." aku mematung, suara ini. Bang irfan tak berubah. "Syafa?" Panggilnya ragu, air mata yang menggenang jatuh sudah. Dadaku membuncah, aku benar2 merindukan mereka. Aku tak bisa menahan tangisku kali ini, aku biarkan bang irfan mendengarnya. Entah apa yang di pikirkan syifa dan azka, ini mungkin ke 2 kalinya mereka melihatku menangis. Tak lama mereka meninggalkan aku yang masih menangis. Sebenaranya aku sendiri bingung, apa yang aku tangisi, rasa rindu akan 10 tahun ini atau rasa bersalah karena menghilang.

Ku dengar abang menghela nafas. "Abang belum memukulmu dek, berhentilah menangis. Abang tak suka mendengarnya."

Aku mengusap airmataku, mencoba menghentikan tangisanku. "Maafin syafa. Syafa bener2 minta maaf, syafa.... "

"Abang paham, berhentilah minta maaf, pulanglah dek, setidaknya demi papa." Potong bang irfan. "Pulanglah, papa sangat merindukanmu. Berhentilah bersembunyi, ini sudah 10 tahun, sudah waktunya adek pulang." Lanjutnya.

"Adek tau. Adek akan pulang, sebentar lagi. Adek janji."

"For good?" Tanya bang irfan.

"For good."

Suami Pilihan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang