4. Flashback

1.8K 217 7
                                    

1 tahun yang lalu

"Kyungsoo, temenin aku beli permen kapas disitu, yuk!" ajak Irene dengan semangat. Mereka berdua baru saja selesai latihan vokal.

"Oke, tunggu bentar." Kyungsoo merapikan barang-barangnya.

Kyungsoo dan Irene berjalan beriringan menuju ke tempat paman yang menjual permen kapas langganannya. Setelah membelinya, mereka berdua menunggu bus bersama.

Irene dan Kyungsoo merupakan sahabat sejak kecil. Rumah mereka bersebelahan hingga sekarang, membuat mereka sangat dekat.

Bus yang mereka tunggu telah datang. Saat Kyungsoo hendak menaiki bus, Irene menarik tangannya. "Tunggu, boleh lamaan dikit, nggak? Aku nggak mau pulang sekarang." Ia menunjukkan tatapan memohonnya yang selalu ampuh.

"Tapi ini udah sore, nanti kamu bak--" Irene memotong pembicaraan Kyungsoo.

"Kamu tau kan papa aku kayak gimana? Aku capek banget, dia pasti bakal nyuruh aku latihan pas sampe rumah."

Irene akan melakukan segala cara untuk menghindari ayahnya.

Sebenarnya aku.." Irene tidak bisa melanjutkan perkataannya, sebenarnya dia ingin mengatakan kalau pita suaranya bengkak, tapi ia mengurungkan niatnya. Ia tidak ingin Kyungsoo khawatir, karena ia selalu berlebihan saat cemas.

"Jadi naik, nggak?" tanya pengemudi bus.

"Maaf, paman." Kyungsoo membungkuk meminta maaf. Merasa bersalah telah menghentikan bus tapi tidak jadi naik.

Mereka menghabiskan waktu bermain di taman hiburan tanpa kenal waktu. Hingga tak terasa hari sudah gelap dan mereka masih belum pulang. Setelah itu, Kyungsoo dan Irene menaiki bus menuju rumah mereka. Irene sangat senang hari ini bisa menghabiskan waktu bersama Kyungsoo. Ia tidak bisa berhenti tersenyum selama perjalanan menuju rumah mereka. Ia menoleh ke samping kirinya tempat Kyungsoo berada. Kyungsoo tertidur, sepertinya ia kelelahan. Iren memandang wajah Kyungsoo cukup lama, mengaguminya.

Kamu nggak tau aku suka banget sama kamu.

Irene membangunkan Kyungsoo ketika mereka telah sampai di halte bus dekat rumah mereka. Kebiasaan mereka dari dulu, Kyungsoo akan selalu mengantar Irene dan menunggu hingga Irene masuk ke dalam rumah. Dengan begitu ia akan merasa tenang.

"Dah Kyungsoo!" 

"Bye-bye!" Kyungsoo melambaikan tangan.

Irene beranjak masuk ke dalam rumah dengan hati yang berbunga-bunga, sayangnya perasaan bahagianya langsung hilang ketika melihat seseorang telah setia menunggunya.

"Papa..."  ucap Irene pelan.

"Kamu kemana aja?" Ayahnya tengah duduk di ruang tamu. Ia melepaskan kacamata baca-nya dan meletakkan buku yang ia baca di meja. Tatapannya tajam. Ia diselimuti dengan kemarahan.

"Aku pergi bareng Kyungsoo." Irene menundukkan kepalanya.

"Kamu nggak tau ini jam berapa? Sebagai gantinya, kamu harus latihan sampe jam 12 malam ini. Lusa ada perlombaan." Ia berkata dengan tegas, tidak menerima penolakan. Irene harus menerima hukuman karena.

Irene menggit bibir bawahnya. Air mata mulai mengenang di pelupuk matanya. Lagi-lagi, ayahnya tidak memikirkan kondisinya. Dia tidak tahu kalau Irene sedang mengalami pembengkakan pita suara. Jika Irene menyanyi secara terus menerus, itu bisa memperparah keadannya. Namun Irene tidak bisa melakukan apa-apa selain menuruti permintaan ayahnya. Jika tidak, mungkin akan terjadi sesuatu yang jauh lebih parah ini.

Semalaman Irene berlatih tanpa memikirkan kondisi suaranya.  Hingga ia merasa sangat sakit pada bagian tenggorokannya, suaranya pun menjadi lebih pelan. Merasa sakitnya tidak kunjung hilang, Irene keluar dari kamarnya dan mencari ibunya.

Ayahnya tidak akan pulang hingga besok pagi, ia sedang mengurus pekerjaannya di kantor seperti biasa. Dengan mudah ia bisa menghampiri ibunya yang sedang terlelap. Dalam hatinya ia tidak tega membangunkan ibunya yang sedang tidur, tapi rasa sakit yang ia rasakan sudah tak dapat ditahan lagi.

"Kenapa sayang?" tanya ibu ketika melihat Irene yang tengah berlinang air mata.

Irene menunjuk tenggorokkannya. "Sakit banget, ma." Suaranya terdengar parau dan sangat pelan.

Ibu langsung mengerti. Tanpa berpikir dua kali, ia langsung mengajak Irene naik mobil dan mengendarainya sendiri ke rumah sakit untuk membawa Irene memeriksa keadaannya. Wanita itu menunggu dengan sangat cemas.

"Permisi, ibu orang tua dari Bae Irene?" tanya seorang dokter yang bertugas memeriksa keadaan Irene.

"Iya, saya ibunya. Gimana dok?"

"Mohon maaf, bu. Saya harus memberitahukan kalau Irene harus menjalani operasi secepat mungkin. Dia sudah mengalami pembengkakan yang parah dan kalo tidak ditangani akan timbul infeksi."

Kaki ibu terasa seperti lepas, ia hampir jatuh ke lantai namun segera ditahan oleh dokter. Hatinya terasa hancur seketika mendengar kabar itu.

"Ibu nggak apa-apa?" tanya dokter khawatir.

"Kalau begitu, segera operasi sekarang. Saya akan membayar biayanya. Cepat dok!" pinta ibu tanpa basa-basi. Keselamatan Irene adalah yang nomor satu. Ia tidak mau lagi kehilangan anaknya.

Ibu menunggu dengan cemas di depan ruang operasi. Berkali-kali ia menelpon suaminya tapi tetap tidak diangkat. Ia mondar-mandir di depan ruang operasi selama satu jam, tidak bisa duduk dengan tenang karena memikirkan kondisi anaknya.

Operasi telah selesai. Dokter dan para perawat keluar dari ruang operasi. Dari raut wajah mereka, sudah terlihat jelas bahwa akan ada kabar yang tidak baik.

"Saya minta maaf sebesar-besarnya, kami telah melakukan yang terbaik tapi tidak berhasil. Pita suaranya sudah rusak parah. Jika dia ditangani dari awal maka tidak akan terjadi seperti ini," kata dokter dengan wajah menyesal.

Beberapa jam kemudian Irene membuka matanya. Ia sudah siuman. Dia ingin memanggil ibunya, tapi suaranya tidak bisa terdengar. Diliriknya gelas yang berada di meja samping tempat tidur lalu ia menjatuhkan gelas itu agar mengeluarkan bunyi sehingga ibunya atau siapapun tau bahwa ia telah sadar.

Ibunya yang sedang tidur di sofa, terkejut mendengar suara gelas pecah. Dengan sigap ia menghampiri Irene yang sudah siuman. Dipeluknya tubuh lemah itu dengan erat, tidak ingin melepaskannya. Sungguh sakit hatinya melihat seorang anak yang sangat ia cintai menjadi seperti ini.

"Maafin mama sama papa, nak." Wanita itu berlinang air mata memeluk Irene.

Irene hanya diam saja. Ia tidak mengerti apa yang sedang terjadi dan kenapa ibunya meminta maaf sambil menangis.

"Kamu... udah... nggak... bisa... ngomong..." Ibu berkata terbata-bata.

Irene menggelengkan kepalanya sekuat mungkin. Apa yang baru saja ia dengar? Tidak mungkin ini terjadi pada dirinya. Mengapa takdir menghukumnya dengan begitu kejam?

****

Kata dokter, Irene masih harus tinggal di rumah sakit selama 3 hari agar lebih cepat pulih. Sejak ia siuman, ia selalu menanti kedatangan seseorang yang sangat berarti. Kyungsoo. Bahkan jika Irene hanya demam biasa, Kyungsoo akan segera datang ke rumah Irene, menemaninya hingga malam tiba. Tapi kali ini, Irene tidak sakit biasa, namun Kyungsoo masih belum datang menjenguknya. Kehilangan suaranya yang berharga adalah hal terburuk yang pernah terjadi di dalam hidupnya. Irene sampai membenci ayahnya yang membuatnya menjadi seperti ini.

Seharian penuh Irene menunggu dan Kyungsoo masih belum muncul. Tapi, Irene masih setia menunggu Kyungsoo. Ia sangat yakin bahwa Kyungsoo akan datang menjenguknya. Walaupun Kyungsoo tidak membalas pesannya atau mengangkat teleponnya, Irene tetap yakin.

Ponsel Irene berbunyi menandakan ada pesan masuk. Ia yakin itu adalah Kyungsoo. Segera ia membuka pesan itu, berharap bahwa pesan itu dari Kyungsoo. Harapannya sirna saat membaca isi pesan itu.

Sebenarnya aku senang kau tidak bisa bernyanyi lagi, dengan begitu aku bisa mengambil posisimu. Tapi tenang saja, aku tidak akan mengambilnya. Karena aku telah mendapatkan sesuatu yang sangat berharga bagimu. Kyungsoo dan aku pindah ke Tokyo. - Han So

[REVISI]

Cotton Candy [REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang